Setelah ketahuan merampok bahan makanan yang ada
di gudang kerajaan Tuban, Raden Said mendapat hukum rajang di tangan oleh
Tumenggung Wilatikta, ayahnya sendiri. Hati Raden Said sangat gusar melihat
penderitaan rakyat Tuban saat itu yang serba kesusahan dan hidup dalam keadaan miskin
akibat penarikan pajak dari pihak kerajaan Tuban yang terlalu tinggi, tanpa
mempedulikan musim itu sedang paceklik.
Dengan kondisi tangan yang hampir melepuh akibat
dirajang ayahnya sendiri karena terbukti mencuri bahan makanan di gudang, Raden
Said merasakan sakit luar biasa. Ia hanya merenung di kamar seorang diri.
Sampai ia membawa rasa sakit itu hingga ke alam tidur. Dalam tidurnya, Raden
Said bertemu dengan sosok kakek tua berpakaian serba putih sambil membawa
kembang wijaya kusuma di tangan kakek tua itu. Diberikannya kembang itu kepada
Raden Said tanpa menjawab pertanyaan yang diajukan Raden Said, “Siapa anda tuan
dan apa maksud anda memberikan bunga ini?”
Dewi Nawangrum, ibu Raden Said mendengar igauan
anaknya itu lantas mendatangi kamar Raden Said, “Bangun anakku.. kenapa kamu
mengigau seperti itu?”
“Ibu.. tadi saya bermimpi bertemu seorang kakek
tua berpakaian serba putih lantas kakek tua itu memberikan bungan ini. Apa
maksudnya dan siapakah kakek tua itu ibu?”
“Nak Said, lihat tanganmu, sudah sembuh.”
“Kenapa ini?” Raden Said kebingungan sendiri.
“Siapa sebenarnya dia ibu?”
“Dia itu eyangmu nak, Tumenggung Ranggalawe.”
Esok harinya, Raden Said berpamitan kepada Ayah,
Ibu dan adik perempuannya untuk berkelana.
Dalam perjalanannya itu Raden Said kembali
merampok harta dari orang-orang kaya yang pelit dan kikir, yang tidak mau
bersedekah dan kemudian membagikan setiap hasil rampokannya itu pada rakyat
miskin di daerah rampokan. Pada suatu saat Raden Said menjumpai segerombolan
perampok di daerah itu. Raden Said mencoba merampas hasil rampokan dari
gerombolan itu untuk kemudian dibagikan pada rakyat miskin. Gerombolan itu
melakukan perlawanan pada Raden Said, hingga terjadi perkelahian sengit. Dalam
melakukan aksi merapoknya, Raden Said selalu menggunakan pakaian serba hitam
dan dengan penutup kepala hitam juga, sehingga identitsanya tidak diketahui.
“Siapa kamu anak sialan, beraninya memalak kami..
kamu belum tahu siapa kita?” teriak kepala gerombolan perampok itu.
“Kamu belum tahu siapa saya? Saya Lokajaya.” Raden
Said menggunakan nama Lokajaya dalam setiap aksi merapoknya, agar tidak
diketahui sejatinya dia, yang sebenarnya anak seorang Tumenggung Wilatikta,
Adipati Tuban.
Dalam perkelahian itu, walau Raden Said sendiri,
namun bisa mengalahkan gerombolan perampok itu. Hasil jarahan rampok pun
berpindah tangan dan Raden Said meminta agar gerombolan rampok itu untuk
berhenti merampok dan menyuruh mereka segera bertaubat. Permintaan itu tidak
disanggupi gerombolan rampok, namun melihat kondisi mereka yang sudah babak
belur, memaksa mereka harus menuruti saja perintah Raden Said.
Gerombolan rampok itu pun menyusun rencana balas
dendam karena Raden Said telah mengambil hasil rampokan mereka. Pakaian serba
hitam yang dikenakan Raden Said dalam menjalankan setiap aksinya ternyata
menjadi ide untuk menjebak Raden Said sendiri. Semua gerombolan perampok itu
memakai pakaian serba hitam sama seperti yang digunakan Raden Said. Dalam
rencana penjebakan itu gerombolan perampok memperkosa seorang janda kembang
desa, beberapa perampok berjaga di semak-semak untuk menjaga situasi. Janda
kembang itu berteriak minta pertolongan, “Tolong.. tolong..” mendengar ada
suara orang minta pertolongan, Raden Said segera datang. Beberapa warga sekitar
yang kebetulan berada di sekitar gubuk yang ditempati janda kembang segera
berbondong-bondong datang. Saat gerombolan pengintai melihat kalau Raden Said
datang, mereka segera memberi tahu temannya yang mengeksekusi janda kembang untuk segera pergi ke dalam hutan. Ketika
Raden Said sudah berada di dalam rumah janda kembang, tak lama berselang warga
datang. “Tolong saya.. pria berpakaian hitam itu hendak memperkosa saya.”
Sontak warga yang datang menangkap Raden Said untuk
kemudian dibawa ke kerajaan Tuban untuk diadili. Istana Tuban kembali gempar
melihat anak Tumenggung Wilatikta, penguasa Tuban tertangkap memperkosa seorang
janda kembang desa. Untuk kali ini Tumenggung Wilatikta benar-benar tidak bisa
memaafkan kejahatan yang dilakukan anaknya. Tumenggung Wilatikta akhirnya mengusir
putranya itu untuk tidak boleh kembali ke wilayah Tuban. Dewi Nawangrum sedih
dan tidak percaya kalau yang melakukan pemerkosaan adalah anak kesayangannya,
pasti anaknya telah difitnah oleh seseorang. Adik putri Raden Said juga
bersedih melihat kejadian itu, dia yakin kakaknya tidak akan pernah berbuat
seperti itu.
“Sudah.. sudah, Said. Meskipun kamu anak kerajaan
Tuban tapi kelakuanmu itu sungguh tidak mencerminkan sebagai anak raja. Kamu
pantas dihukum, pergi dari kerajaan kekuasaan ayahmu ini dan ingat, jangan
pernah sekali-kali kamu kembali ke tanah ini sebelum kamu getarkan
dinding-dinding kerajaan ini. Mengerti kamu Said?”
Raden Said hanya menganggukkan kepala, menandakan
ia sangat menerima hukuman dari ayahnya serta cobaan yang diberikan Allah atas
dirinya sebagai pelajara hidup.
Di tanah perantauannya saat ini, Glagah Wangi,
Raden Said kembali merampok harta orang kaya yang pelit bersedekah, dan kembali
setiap harta hasil rampokannya selalu dibagikan pada rakyat miskin setempat.
Lokajaya semakin dikenal di daerah Glagah Wangi, Demak.
Suatu waktu Lokajaya bertemu seorang kakek tua
dengan pakaian serba putih tanpa membawa harta benda apa pun, namun yang
menarik perhatian Lokajaya untuk merampoknya adalah tongkat yang dibawanya
sangatlah berkilau dan memancarkan cahaya, “Pasti itu terbuat dari emas.” kata
Lokajaya lirih.
“Berhenti kamu kakek tua. Serahkan hartamu.”
“Harta? Apa yang kamu maksud? Saya tidak punya
apa-apa.”
“Jangan pura-pura bodoh kakek tua. Tongkatmu
berkilau, pasti itu emas. Serahkan tongkat itu padaku sekarang.”
“Kamu memintaku untuk menyerahkan tongkat ini
padamu? Saya sudah tua renta anak muda, lantas bagaimana nanti saya berjalan.”
“Bukan urusan saya. Serahkan tongkat itu atau kamu
tidak akan melihat dunia lagi.” Ancam Lokajaya.
“Anak muda, kenapa kamu memaksa sekali untuk
memiliki tongkat ini. Padahal di atas pohon aren itu buahnya semuanya emas.”
Sambil menunjuk pohon aren menggunakan tangan.
Lokajaya hanya bisa terperanjat melihat pohon aren
dengan buah emas. Tak mau lama berfikir, Lokajaya segera memanjat pohon aren
untuk mengambil buah aren emas itu. Namun sesampainya di atas pohon aren itu
tiba-tiba buah aren emas itu kembali menjadi buah aren biasa. Lokajaya kemudian
turun dan mengejar kakek tua itu yang sudah pergi meninggalkannnya sambil
berteriak, “Tunggu kakek tua..”
“Ijinkan saya untuk menjadi muridmu, dan maaf,
siapakah engkau tuan? Saya Raden Said, putra Tumenggung Wilatikta dari Tuban.”
“Untuk apa kamu menjadi murid ku? Apa kamu ingin
menguasai ilmu mengubah buah aren menjadi emas?”
“Bukan tuan. Saya benar-benar bertaubat.”
“Baiklah, Nak Said.” Menghela nafas.
“Bagaimana engkau tahu nama saya tuan?” Said
terheran.
“Mungkin kamu tidak ingat Nak Said, saat kamu
masih kecil saya sering mengunjungi ayahmu di Tuban. Saya adalah Sunan Bonang.”
“Sunan Bonang? Maafkan saya.. saya benar-benar tidak
tahu.”
“Tak apa Nak Said, mungkin saat itu kamu masih
kecil jadi tidak begitu mengetahu ku. Baiklah, jika kamu benar bersungguh-sungguh
ingin menjadi murid saya, jagalah tongkat ini selama saya pergi ke kerajaan
Demak.”
Kemudian Sunan Bonang menancapkan tongkat yang
dibawanya ke tanah di dekat sungai. Tanpa bertanya, Raden Said menyanggupi
syarat yang diajukan Sunan Bonang. 40 hari sudah berlalu dan Raden Said masih
menjaga tongkat dari Sunan Bonang tanpa berpindah tempat, bahkan saat terik
matahari menyengat dan hujan turun membasahi, Raden Said masih bertahan, dingin
hujan dan dingin malam juga dijalani, hingga lumut mengelilingi sekujur tubuh
Raden Said.
Sekembalinya dari kerajaan Demak, Sunan Bonang
melihat Raden Said yang masih menunggu tongktanya itu, dengan keyakinan bahwa
Raden Said masih di sana. Ternyata benar, Raden Said masih setia menunggu di
sana. Bahkan tubuhnya sampai ditumbuhi lumut.
Keteguhan Raden Said menggugah hati Sunan Bonang
untuk mengajarinya ilmu tentang perwalian, setelah ilmu agama dan ilmu tentang
ketata negaraan yang telah Raden Said dapatkan selama berada di lingkungan
kerajaan Tuban.
Setelah dianggap cukup ilmu dari Raden Said
tentang kewalian, Sunan Bonang menganugerahkan gelar wali kepada Raden Said,
Sunan Kalijaga.
Dalam lingkungan kerajaan Demak yang dipimpin
Raden Patah, putra raja Brawijaya V, pemimpin di Majapahit saat itu. Raden Said
yang sudah menjadi seorang Sunan Kalijaga itu menunjukkan kepandaiaannya dalam
banyak bidang. Sehingga membuat Raden Patah terkesima dan hendak mengangkatnya
menjadi penasihat kerajaan.
“Maukah engkau menjadi penasihat ku di kerajaan
ini, Sunan Kalijaga?”
Tentu permintaan ini tak bisa ditolak Sunan Kalijaga,
“Alangkah bodohnya saya jika tidak menerima permintaan engkau, Raden Patah.
Saya mau.”
Sejak saat itu Sunan Kalijaga menjadi penasihat
Raden Patah, dan pemikiran-pemikirannya sering menjadikan Raden Patah
benar-benar tidak menyesali keputusannya untuk mengankat Sunan Kalijaga menjadi
penasihat kerajaan Demak.
Suasana Majapahit yang semakin berkecambuk membuat
raja Brawijaya V menanggil seluruh daerah di bawah kekuasaannya, untuk
menentukan apa langkah yang harus diambil dalam situasi perang ini. Di sana
nampak hadir Adipati Tuban, Tumenggung Wilatikta dan Raden Patah, penguasa
Demak, yang juga putra Brawijaya V serta dari beberapa tumenggung daerah
kekuasaan Majapahit lainnya. Dalam pertemuan itu, Raden Patah menyempatkan diri
untuk mengobrol dengan Tumenggung Wilatikta, ayah dari Sunan Kalijaga.
“Sebagai seorang pemimpin kerajaan Demak, saya
sangat senang karena saya mempunyai seorang penasihat kerajaan yang sangat
bijaksana, ia bernama Sunan Kalijaga, dia bertitip pesan kepada mu Wilatikta.”
“Saya sangat senang mendengar berita itu Raden
Patah. Tapi sebenarnya siapakah dia, kok saya tidak pernah mendengar nama Sunan
Kalijaga?”
“Apa benar kamu tidak mengenalnya Wilatikta? Dia
itu putramu sendiri, Raden Said.”
“Said, putra saya?” Tumenggung WIlatikta terheran.
Anaknya, seorang pemerkosa janda desa, telah menjadi Sunan Kalijaga. “Apa dia
benar-benar telah bertaubat? Dia telah menjadi orang hebat di sana.” Dalam hati
kecil Tumenggung Wilatikta bahagia.
“Titipkan salam ku padanya Raden Patah. Saya dan
keluarga menunggu di kerajaan Tuban.”
“Akan saya titipkan salam mu Wilatikta.”
Sejak hilangnya sosok Lokajaya di daerah Tuban,
perampokan semakin merebak kembali. Tumenggung Wilatikta semakin geram
dibuatnya dan berencana melakukan razia besar-besaran di daerah Tuban, bahkan sampi
ke polosok hutan dan pegungunan tak luput menjadi sasaran Razia.
Damal razia yang dilakukan kerajaan Tuban,
terjaring gerombolan yang telah menjebak Raden Said. “Hei kalian.. kenapa
kalian memakai pakaian serba hitam dan menggunakan penutup muka?” bentak
Tumenggung Wilatikta pada gerombolan.
“Ampuni kami tuan, kami hanya mencuri tuan, jangan
bunuh kami.”
“Kenapa kamu tidak menjawab pertanyaan ku tadi?
Kenapa kalian memakai pakaian serba hitam?” Suara Tumenggung Wilatikta semakin
keras membentak.
“Ampuni kami tuan, kami hanya meniru cara
berpakain Lokajaya tuan.”
“Kenapa kalian meniru cara berpakaian Lokajaya?”
“Kami meniru Lokajaya supaya kami lebih ditakuti
tuan.”
“Kalian tahu kan siapa Lokajaya itu?”
“Tahu tuan. Lokajaya itu adalah putra engkau,
Raden Said”
“Lantas kenapa kalian menirunya?”
“Kami hanya ingin membalas perbuatan Raden Said
tuan, yang telah mengamibil hasil rampokan kami dan membagikannya pada rakyat
miskin.”
Betapa mulianya hati Raden Said terhadap orang
miskin. Raden Said rela namanya tercemar sebagai pencuri, padahal Raden Said
putra seorang tumenggung, hanya untuk membantu rakyat miskin yang tidak bisa
makan.
Dalam suasana Tuban yang tak menentu, bahkan
sampai pagi, Tumenggung Wilatikta dan dan istrinya, Dewi Nawangrum harus
begadang sampai pagi untuk memikirkan nasib rakyat Tuban. Tiba-tiba
dinding-dinding kerajaan Tuban bergetar, diiringi lantunan ayat-ayat Qur’an.
Suara itu sepertinya tak asing ditelinga Dewi Nawangrum, suara Raden Said
sangat merdu.
“Suara apa itu ayahanda? Apa engkau mendengarnya?”
Dewi Nawangrum.
“Iya, istri ku. Saya mendengarnya.”
“Suara siapa itu merdu sekali lantunan ayat-ayat
Qur’annya.”
“Entah istriku. Saya juga tidak mengetahuinya.”
Dewi Nawangrum tiba-tiba teringat janji suaminya,
sebelum mengusir putranya dari tanah Tuban. Bahwa Raden Said belum boleh
kembali ke tanah Tuban sebelum Raden Said menggetarkan dinding-dingding
kerajaan Tuban.
“Apakah kamu ingat akan janjimu saat hendak
mengusir Nak Mas Said dari tanah Tuban dulu?”
“Janji yang mana?” Tumenggung Wilatikta terlihat
lupa akan janjinya dulu, yang sebenarnya hanya gertakan pada anaknya.
“Dulu kamu pernah berkata, kalau Nak Mas Said
belum boleh kembali ke tanah Tuban sebelum ia bisa menggetarkan dinding-dinding
kerajaan ini.”
Meskipun hanya suara Raden Said yang datang, sudah
menggambarkan ketinggian ilmu Raden Said, Sunan Kalijaga.
Sunan Kalijaga