3.16.2014

Stigma dan Paradigma



Stigma dan Paradigma selalu berjalan beriringan. Hati dan Rasa Malu juga harus demikian. Stigma adalah pandangan masyarakat tentang sesuatu hal. Paradigma adalah kerangka, cara berfikir seseorang terhadap sesuatu hal.

Di suatu daerah, sebut saja daerah Mawar, ketika hubungan antara dua insan manusia berbeda kelamin memadu hidup yang belum sah, dalam jalinan pacaran, hal itu dianggap wajar dan sah-sah saja. Pada beberapa daerah yang lain, mungkin hal itu nampak ganjil. Inilah stigma masyarakat, pandangan dalam menyikapi suatu budaya. Stigma budaya baru itu disikapi dan di"iya"kan dengan pandangan manusianya, paradigma,  bahwa budaya baru itu wajar dan sah saja dijalani. Tapi, apakah budaya baru itu wajar dan sah-sah saja?

Kasus yang baru-baru ini menyeruak ke permukaan yang diangkat beberapa media, asmara berujung bencana. Sampai sini kewajaran sudah tak nampak. Wajarnya di mana kalau begitu dong? Bahkan belum sampai pada tahapan itu pun, kewajaran sudah ditampakkan oleh para pelaku asmara. Missal: Cinta bertepuk sebelah tangan berlanjut kebencian, Cinta yang diperebutkan, Termasuk di dalamnya, memadu, menyukai pacar teman sendiri. Jangan sampai deh suka sama mantan pacar temen. Kok kesannya nggak etis.

Gini aja deh, orang yang selama ini kamu anggap temen, cuma dianggep temen lho ya, kemana-mana bareng. Dan posisi kamu tahu, temen bayanganmu itu punya pacar. Sebulan kemudian temen kamu itu putus dan entah sejak kapan kamu ada rasa dengan mantan temen kamu itu bisa jadian sama kamu, padahal mukelu nggak ganteng-ganteng/ cantik-cantik amat dari temen kamu tadi, beda cerita kalo bokap kamu tajir. Apa itu wajar? Kira-kira perasaan temen kamu yang lagi galau itu bagaimana? Ya, jangan ditanya dong perasaannya gimana, yang pasti sedih. Belum tentu. Siapa tahu, dia putus gara-gara ngeliat panu super gede di punggung pacarmu, mantannya temenmu dulu pas lagi enggak tahu apa yang mereka lakukan berduaan di dalam kamar, whatever, dan ngebuat ilfill. Kemudian putus, kan nggak sedih-sedih banget.

Entah, tahu atau tidaknya kamu, alasan apa yang membuat mereka putus. Missal saja kamu tahu alasan mereka putus. Logikanya gini aja. Dia putus gara-gara ilfill ngelihat peta pulau jawa di punggung si cewek, nggak mungkin kan dia lagi makan, atau entahlah nyuci piring bareng dalam kamar (aku mencoba positif thinking aja), artinya kamu tahu dong dia lagi ngapain. Terus dengan alasan, “Kan dia lagi sedih, butuh tempat curhat..” hingga akhirnya kamu jadian sama dia. Apalagi yang bisa kamu harapin dari dia? Jatah? Fucking shit men. Astaghfirullah aku misuh. :( Ampuni aku Tuhan.

Baiklah, balik ke pembicaraan.

Sebentar, maksud kamu, yang tadi bukan topiknya?

Cerewet, udah pembaca tugasnya baca.

Baiklah.

Sebentar, asmara remaja, apakah ini sebuah budaya kita saat ini? dulu? telah mengalami perubahan. Entah siapa yang membawa budaya itu?Kamu pasti sudah tahu jawaban dan punya banyak alasan yang akan kamu gunakan sebagai alibimu.

Kenapa bisa sampai segitunya? asmara berujung bencana.

Coba kita uraikan menggunakan salah satu alur acak: kenalan, ngajak jalan, jadian, minta jatah, nggak dikasih, putus, minta balikan, ditolak, dendam, bunuh mantan. Harap tidak ada pertanyaan pada paragraf ini. Ini hanya salah satu alur acak.

Di mana letak salahnya? nggak ada yang salah. yang salah ya, saat stigma dan paradigma menganggap pacaran sebagai kewajaran. Tinggal bagaimana jawaban hati dan rasa malu aja yang bersikap. Pantaskah budaya itu? Pantaskah membunuh mantan? Ya nggak pantas dan jelas nggak boleh, bahkan bukan dari tahap itu saja nggak bolehnya. ya sejak awal jadian itu nggak bolehnya.

Lalu, di mana letak pengawasan orangtua seharusnya? Orangtua nggak perlu ngawasi. Nggak perlu. Cukup diajari bagaimana memandang sesuatu yang baik atau tidaknya suatu budaya dengan hati. Rasa malu itu salah satu tanda buat orang yang beriman.

Budaya itu timbul akibat suatu kelompok mulai membenarkan dan membiasakan diri dengan hal baru, seolah tidak sedang terjadi apa-apa.

Terus, harus gimana dong? yang nggak usah diterusin, kok malah diterusin sih. Udah pada gedhe, udah pada bisa mikir, udah pada tahu fungsi kelamin masing masing, masak harus dijelasin mana yang baik mana yang buruk.


Sikapilah suatu budaya dengan hati dan hati-hati. BS

Tidak ada komentar: