3.26.2014

Tuhan memang nggak pernah tidur


Tuhan memang nggak tidur, tapi Tuhan juga nggak punya facebook keles.

Temen saya ditegur pak dosen karena dia tidur di kelas saat jam kuliah. Teman meja sebelahnya dan kebetulan itu bukan saya, menyarankan agar dia kuliah sambil maen facebook, biar nggak ngantuk. Iya, ngantuknya udah ilang, malesnya nambah. Bukannya ngedengerin materi yang disampaikan sama pak dosen tapi malah keasikan facebookan.

Dua hari lalu. Temennya temen saya. Dia ditegor dosen karena asik maen facebook di saat jam kuliah agama. Kan kasian dia, dia seorang atheis. Serba salah dan disalahkan. Salah siapa nggak punya Tuhan. Emang harus ya? Tapi, ngapain juga dia masuk kelas agama

Tuhan memang nggak tidur untuk mengawasi makhluk ciptaannya. Tapi, Tuhan juga nggak tahu cara bikin facebook itu dimana dan harus bayar berapa, Tuhan nggak punya facebook keles. Tanpa harus punya facebook, Tuhan udah bisa mendengarkan curahan hati makhluknya kok. Mungkin, untuk lebih afdolnya, sebagai makhluknya ya kita harus meminta, dengan berdoa. Dengan tidak berdoa di facebook. Eh, tapi Tuhan punya blog nggak ya?

Untuk saat ini menunggu adalah kegiatan yang menyenangkan



#flashfiction

Biarkan Aku Memulai

Sesekali di antara kami menggelengkan kepala ke kiri kemudian ke arah kanan secara bergantian. Saling pandang tanpa kata dengan senyum dan lempar pandang sembunyi muka. Pertama kulihat senyum dari bibirnya. Begitu dengan dia. Sesekali pramusaji menghampiri meja kami, sungguh mengganggu.

Aku lebih banyak menutup mulut untuk diam, hanya sesekali menimpali dan mengajukan tanya, karena mendengar setiap kata yang keluar dari bibirnya amatlah indah, lebih dari cukup.

Dalam kata, tokoh  seperti inilah yang cocok dengan karakter protagonis diamku.

Saling memandang sambil menunggu pesanan datang amatlah menyenangkan. Untuk saat ini menunggu adalah kegiatan yang menyenangkan.

Tidur bisa membuat kita bermimpi



Mimpi merupakan bagian dari imajinasi. Tidur bisa membuat kita bermimpi. Mimpi saya tadi sore yaitu menjadi orang tua, menjadi tua.

Umur saya sekarang sudah banyak. Saya sudah punya istri yang sama-sama sudah tua, saya punya empat anak. Dua anak laki dan putri di rumah, yang masih SMA dan SMP. Dua anak sisanya masing-masing sudah tinggal dengan istrinya di Bandung dan satunya lagi menempuh pendidikan di Universitas Airlangga Surabaya jurusan Ilmu Politik.

Menjadi tua sangat menyenangkan. Meski pun saya harus meninggalkan dunia anak-anak supaya anak-anak saya tidak menyebut saya bertingkah kekanak-kanakan. Saya takut menjadi pelupa. Saya malas jika harus menamai setiap  kunci-kunci rumah dengan namanya masing-masing. Pintu depan, pintu belakang, garasi, saya harus memberi nama pada masing-masing  kunci supaya dengan mudah mengingatnya tanpa harus mencobanya satu persatu.

Saya takut. Anak-anak menirukan kenakalan masa remaja orangtua dulu. Mengambil buah mangga tetangga yang belum jatuh dari pohon dan terpaksa harus dipanjat atau pun disongget pakai tongkat. Itu sungguh masa kecil yang menyenangkan meski pun saya tahu pemilik rumaha amat membeci hal itu.

Saya takut kenakalan masa remaja saat masih SMP, kejailan saya terhadap teman putri, terulang pada anak putri saya juga. Rasa harap saya itu didasari dengan keyakinan saya kalau bapak saya dulu juga tidak melakukan hal serupa. Seyakin-yakinnya saya, bahwa lingkaran setan itu sebenarnya bisa diputus setiap saat. Hanya saja lingkaran itu juga bisa disambung setiap saat juga.

Romansa masa muda tak lagi ada. Istri saya tak secantik dulu. Hanya saja kebaikannya semakin besar dari masa lalu. Keromantisan antara kami juga tak seindah masa pacaran. Pipi kami sudah kendor, tak sekenyal dulu yang masih bisa main cubit. Yang jelas masa lalu akan hilang begitu saja tanpa kita menulisnya. Terimakasih atas kebaikanmu istriku, yang telah menemani suamimu ini. Anak-anakku yang selalu patuh terhadap orangtua. Jadilah orang yang berguna bagi agamamu, bangsamu.

Dari anakmu, dan bapak baru membacanya dalam mimpi.

3.22.2014

Termasuk Tulisan Ini



“Nulis buat apa? Emang bisa bikin kaya? Nggak nulis bisa bikin mati?”

Nulis memang nggak bisa ngejamin kamu kaya, masuk surga. Nulis emang nggak bikin kamu mati mendadak. Nulis emang nggak bisa bikin kamu ganteng maksimal. Tapi, dengan menulis kita bisa bikin sejarah. Kepuasan. Seandainya, dulu naskah proklamasi republik Negara ini nggak ditulis, saya yakin-seyakin-yakinnya, itu naskah, ilang men. Nggak ada yang hafal. Ya, kalo ada yang hafal, itu pun udah almarhum yang dulu nulis. Kamu hafal? Saya aja,,, ah sudahlah.

Setiap penulis punya masud dan tujuan yang berbeda. Politikus kita ambil contoh, dia nulis buat ngangkat citra, mempengaruhi pandangan pembaca agar mempercayai atau agar melakukan sesuatu seperti yang diharapkan penulis dalam tulisannya. Komentator buku, jelas, dia tugasnya mengomentari buku terbiatan baru sekaligus alat promo buku. Apa pun alasan penulis, yang jelas, menulis bukan suatu kegiatan yang mudah untuk dikerjakan secara mendadak, perlu pemikiran, perlu keterampilan, dan keterampilan itu bisa diperlajari. Seperti tulisanku di atas, gimana, penyusunan kata, gabungan kalimat, penggunaan bahasanya udah enak dibaca kan. BHahahaha.

Arswendo Atmowiloto bahkan pernah menulis saat dia di dalam hotel prodeo. Saat dia sedang asik liburan di hotel prodeo itu, naskah-naskah hasil buah tangannya bisa difilmkan. Kece banget nggak tuh.1

Menulis tak ubahnya sebuah pidato. Ada pesan-pesan yang ingin dituju. Ada maksud tersebunyi mau pun yang secara jelas menampakkan diri. Dengan berinteraksi sosial, ngobrol sama temen, maen twitter, banyak hal menarik yang kita lihat. Banyak tokoh, pengenalan karakter yang sebelumnya belum pernah kita lihat, kini kita (saya) menjadi atau proses menjadi tahu ilmu tentang penokohan dan proses perubahannya dalam menyikapi situasi. Sedikit memberikan sudut pandang pada tokoh itu, mengubahnya menjadi karakter yang kita mau, kita seperti jalan-jalan di dufan. Asik men, tinggal pasang karakter jeleknya, buang karakter bagusnya dalam sebuah cerita fiksi. Kita jahat men, penulis itu makhluk paling jahat sedunia setelah ibu-ibu yang lagi ngomel-ngomel naik matik. Yang kalo belok kanan, nyalain ritingnya kiri.


“Kenapa juga harus punya blog? Kesannya curhat nggak penting, ngejelek-jelekin orang, Nyampah!”

Kenapa juga harus punya blog? Karena nge-blog itu Gratis, ngeblog itu gratis alias nggak bayar, cuma perlu ganti aja biaya warnet satu jam 3.000 perak.

Nggak curhat kok. Jangan mendeskreditkan semua penulis seperti itu dong. Nggak mau kan kalau semua ibu-ibu yang naik matik itu ngeselin, nyatanya, nyatanya emang begitu. BHahahaha.

Pengembangan diri dan pengembangan imajinasi men. Kita butuh tempat curhat skala besar. Ya ini tempatnya. Semua bisa baca dengan gratis kagak pake bayar, cuma perlu ganti aja biaya warnet satu jam 3.000 perak (copy dari yang di atas). Kalo semua pendapat dan komentar yang membangun bisa ditampung artinya kita-kita nih sebagai penulis, ada sebuah kotak saran buat perbaikan diri.

Albert Einsten bahkan pernah berujar, “Imajinasi lebih penting dari pengetahuan.”

Nggak ada yang lebih enak selain berimajinasi, berkhayal men. Setelah nggak ada yang bisa saya lakukan selain menyelesaikan semua tugas kuliah dan tugas lain, hal yang paling enak buat dikerjaan ya nulis. Kegiatan yang satu ini sangat enak. Simple, nggak neko-neko dan gretong. Seperti halnya bercinta, setiap huruf, rangkaian kata, susunan kalimat yang saling melengkapi satu frase akan membuat kita puas. Nikmat tak berbatas.

“Penulis bisa dengan sangat keji meminjam karaktermu dalam setiap tulisannya.”

Menulis meninggalkan sejarah. Menulis memberikan tanda kalau kita pernah hidup dalam peradaban.


1.     Catatan : beberapa karya tulisan Asrwendo Atmowiloto yang diterbiatkan, novel, scenario film, dll ada yang menggunakan nama samaran. Silakan baca buku Mengarang Itu Gampang karya Arswendo Atmowiloto untuk menelusurinya. Ben kowe sregep moco buku bro. Beberapa buku lain juga bisa dicari.

Pindah Rumah



Hari ini, saya pindah rumah. Rumah baru, suasana baru. Semoga.

Di rumah baru ini saya menemukan banyak teman. Garasi, lampu taman, kulkas, kamar mandi. Semoga di tempat yang baru ini, pengharapan akan hari yang lebih cerah lekas datang. Meninggalkan kenangan rumah lama.

Perkenalkan, nama saya, Nino. Saya melihat banyak kejadian di rumah baru ini. Di balik pintu yang tertutup, di balik pintu yang terbuka, pintu yang didobrak. Awal mula dari fitnah, “Ketika perempuan dan laki-laki yang belum muhrim dalam satu ruangan tertutup, maka akan menimbukan fitnah.”

Inilah saya dengan rumah baru. Beragam hiasan menempel di tubuh. Saya mendapatkannya saat di rumah lama. Saya semakin ganteng, kau boleh menyentuh semaumu. Asal, anjing kecil di samping rumah tak ada. Saya sarankan hari minggu pagi kau berkunjung. Karena, itu hari libur anjing kecil.

Pintu masuk. Pintu kamar tidur, kamar mandi, saya paling suka ruangan baru itu. Hanya saja saya lebih suka bermain dan melihat kejadian dari balik pintu. Perbincangan tentang sex, korupsi, rumah tangga yang sudah karam dua kali, juga kejadian penting lain. Selalu diibaratkan dengan pintu yang didobrak. Itulah sebab saya lebih suka mengintip dari balik pintu.

Asal saya dari Kalimantan. Saya termasuk beruntung bisa dengan cepat pindah ke sini. Pulau Jawa, tanah surga. Karena teman-teman kecil saya yang masih tinggal di sana tak senasip seperti yang  saya alami di sini. Di sini lebih enak, setidaknya begitu. Apa-apa mudah, mudah, nggak ribet. Mati juga lebih susah.

Kisah bisa sampai di pulau Jawa ini amat panjang. Beruntung saya tidak dibakar hidup-hidup atau dibacok orang di pinggir jalan saat masih di sana. Saya harus menumpang kapal barang, tidak apa. Asal bisa selamat, pindah tempat.

Saya, tak jarang dijadikan katalis isu-isu. Mengintip dari balik pintu. Selama di sini, sudah lima perempuan yang isunya saya dengar. Gratifikasi sex, tante kesepian, hah. Kesemuanya bercerai karena perselingkuhan, ditinggal pergi suami, suami jatuh miskin. Isu politik bercampur perempuan di baliknya. Selalu menarik didengar. Ibu muda yang diselingkuhi itu tak pernah absen curhat ke saya. Saya bisa apa, hanya menjadi pendengar yang baik.

Anak paling kecil dari keluarga pertama yang curhatannya saya dengar, sering mengajak bermain. Mencoret pipiku dengan cat minyak. Menuliskan kata, Mama Papa Sayang dengan gambar senyum.

Saya juga pernah bermain film, kamu tentu pernah melihat actingku. Dalam sebuah adegan film horror, sayalah actor utama setelah setan. Lebih tepatnya kami berkolaborasi. Actingku selalu sempurna, beberapa kali saja retake adegan. Suara saya kadang terdengar lebih parau dari biasanya.

Pada zaman modern, saya berubah. dari teman manual menjadi teman yang bisa membuka diri sendiri. Kejelekan yang saya alami oleh orang yang selalu berbuat jahat, mereka menamai saya dengan, teman berasandar.

Sayangnya akhir-akhir ini, saya dan saudara-saudara saya ada di setiap rumah tetangga. Jumlah kami banyak. Posisi kami strategis. Itulah yang membuat kami banyak tahu. Bahkan, saat orang-orang menggunakan kami sebagai alat penutup. Justru saat itulah kami melihat. Kalian bersembunyi di tempat yang salah. Kami tahu apa yang kalian kalukan setiap hari di balik kamar mandi, kamar tidur.

Harum baju yang kau gantung di pundakku, celana, dan bau-bau lain yang kau bawa dari luar. Saya tahu, dengan siapa saja kau bergaul. Tak jarang mengundang nyamuk bila kau terlalu lama menempel di pundakku. Tepat di pundakku ini, pada posisi lain saat kau masih kanak-kanak. Membawa kenangan saat kau sudah dewasa. Nama-nama perempuan dan laki-laki yang kau tulis, itu nama orang yang kau suka.

Saya tempatmu bersandar, meneteskan air mata.

Temanku, dia tugasnya lebih berat lagi. Menjaga orang-orang jahat agar tak kabur dari masa hukuman. Dingin teralis, pengap sekali.

Orang-orang di luar sana tak jarang dengan semaunya sendiri memasuk dan mengelurakan surat melewati antara dua kaki saya, tanpa permisi. Hanya saja saya tak tahu pesan suratnya, yang jelas saya tahu siapa pengirimya, dengan paket atau tidak. Bunga.

Sudah segitu saja. Tak lihatkah kau bel pintu? Jangan kau ketok saya dengan tangan tiga kali. Jangan pakai batu. Dobrak saja kalau-kalau bel pintu sedang sakit atau pulang ke rumah asal, atau tidak di buang ke pembungan akhir.

Udara tak jarang datang menyelinap dengan debu-debu. Rembesan air hujan. Tugasku hanya melindungi, sedikit mempercantik. Kurang apa setianya saya.

Panas dingin musim silih bergantian. Kami tetap setia, sebelum akhirnya api membakar dan memusnahkan, dengan semua orang di dalam, orang yang seharusnya saya lindungi. Maafkan saya yang tak bisa menjagamu seutuhnya. Saya justru menghalang-halangi kalian untuk menyelamatkan diri. Salahkan saja saya dari yang seharusnya dipertanggungjawabkan listrik.

Hanya sebuah pintu.