4.10.2013

Betahwalang Berdarah


Ngepost lagi ah, udah lama gak nyapa temen2 di dunia yang katanya maya ini. Oh, maya…Di mana kamu?
Tau gak kalian? Gak tau ya? Makanya sini saya mau kasih tau. Disimak ya bro.
Tahun ini 2013, semua udah pada tau kan? (buat yang baca di tahun yang sama).
Saya udah masuk semester enam. ENAM BRO. itu kalo di kampus saya udah ribet2nya sama kegiatan praktikum yang semakin ngehe, belom lagi harus mikirin Kerja Praktik (KP) di mana? Mikirin hati ini mau dibawa kemana? Mau balikan sama mantan atau cari yang lain aja. Ribet.

>> Tiba2 saya keinget tahun 1998. (penulis malas)
Apa jadinya jika saya menyebut tahun 1998 di benak temen2?
Reformasi? Soeharto lengser? Ortu kalian nikah?

Emang sih saya gak begitu inga betul tentang tahun itu, dan peristiwa2 di bawahnya, karna pada tahun segitu kira2 saya masih kelas dua MI. hanya sana yang masih teringat dalam pikiran saya kala itu; saya masih kelas dua MI, ibu saya masih jualan di rumah, jahil2nya jadi anak kecil yang ngisengin (bukan ngisinging. Beda. Ingat itu) anak orang. Sebatas itu. Pulang sekolah dengan gagahnya nyanyi lagu “Bebek ngorek pinggir kali.” Rame2 sama temen. Ditengan pulang sambil nyanyi itu, saya dan teman2 berpapasan sama orang banyak, rame lagi, entah apa saya gak tahu (baru tau kalo itu dulu pada demo 1998) pada ngapain. Sampe rumah, naroh tas sama sepatu, ganti baju tanpa ganti celana sekolah, maen sama temen. Cukup sampai situ.
Asik maen sama temen2, lengan saya tiba2 ditarik sama seorang perempuan untuk diajak bersembunyi, bersama teman yang lain kami sudah berada di ruangan yang agak sempit, bersembunyi dari (amukan orang tanpa otak di kepalanya) perusakan rumah oleh orang yang bringas, saya menyebutnya. Rumah beberapa orang di kampung saya juga ikut dirusak secara kejam dan sadis. Semua isi rumah dihancurkan, gelas kaca dipecahkan, motor ayah saya dibakar dan dibuang di sungai depan rumah. Rumah orang tua saya hancur berantakan. Serta beberapa rumah orang yang dianggap punya kedekatan dengan penguasa kampung saat itu. Meski tak semua pemilik rumah itu punya kedekatan dengan elite politik kampung. Pengetahuan saya sebatas itu.
Beberapa saat setelah kejadian keji itu, setelah suasana kampung dianggap mendekati aman. Saya diperbolehkan pulang ke rumah oleh perempuan yang menarik lengan baju saya tadi, melihat kondisi rumah orang tua saya yang baru dirusak ini, rasanya tidak tau mau ngapain. Mau nangis juga gak ngerti, mau senyum apalagi. Karna saya gak ngerti apa yang barusan terjadi?
Hanya melihat ibu saya yang masih di sana, rumah yang berantakan, Ibu membersihakan kepingan kaca dan dagangan yang berantakan, ibu nampak tegar dengan beberapa tetes air mata yang telah ia usap.
Rumah sudah rusak, untung tidak dibakar, karna kalo dibakar biaya perbaikan akan nambah banyak. Ayah saya di mana saat itu?
Sejak saat itu, saya dan kakak saya harus mengungsi ke rumah nenek untuk beberapa hari. Ibu menyuruh saya dan kakak pergi ke rumah nenek, sementara ibu berjaga di rumah.
Untung di rumah nenek ini tidak ikut dirusak, karna saya dengar2 rumah nenek ini juga hendak dirusak. Karna nenek dan mbah termasuk pemuka agama yang begitu disegani di kampung, jadi niatan keji itu tidak sampai di rumah nenek ini.
Nenek saya ini adalah ibu dari ibu saya, mertuanya ayah.
Sampai saat ini saya masih mengingat peristiwa itu dengan samar2 di pikiran dan hati.

Tidak ada komentar: