MNC
TV
Inilah awal mula perjalanan dimulai. Stasiun penyiaran
televisi yang bermetamorfosa dari TPI ini, menjadi kunjungan pertama sebelum
kunjungan-kunjungan ke stasiun penyiaran lain.
Rombongan diterima di MNC tv pukul 10 am. Pengenalan
company profile oleh MNC. Setelah itu rombongan dibawa berkeliling menuju ruang
control room dan studio produksi. Kebetulan waktu itu rombongan masuk di studio
program Intermezzo yang dibawakan oleh Cak Lontong dan Wendi Cagur.
Di sana rombongan melihat bagaimana penataan yang
lumayan rumit dan nampak elegan, dari penataan panggungnya. Tata panggung dan
set dekorasi, cahaya, layar LCD yang besar, penataan set chit chat dan set home
band serta penataan lain. Keren.
SCTV
Dari MNC tv
rombongan melanjutkan kunjungan ke stasiun penyiaran SCTV. Awalnya biasa-biasa
saja. Nampak tidak ada yang ganjil dengan semua rombongan. Sampai di tempat
kunjungan, pihak SCTV sempat beradu mulut dengan pihak rombongan MMTC
Yogyakarta terkait kuota rombongan yang diperkenankan mengikuti acara.
Pihak SCTV hanya memperbolehkan 40 mahasiswa yang
mengikuti acara. Namun, jumlah rombongan lebih dari 50 mahasiswa. Jadi tidak
boleh masuk semua? Tentu saja tidak. Terpaksa beberapa mahasiswa harus out dari rombongan. Sedih.
Masalah itu hanya
kecil. Rombongan setidaknya bisa diperkecil, meski kuota masih melebihi 40 mahasiswa.
Dari semua stasiun penyiaran yang rombongan kunjungi, hanya di SCTV inilah
rombongan harus melewati pemeriksaan yang lumayan ketat, seketat celananya
Olga. Benda yang dinamakan metal detector harus rombongan lewati. Bukan bukan,
bukan maksud saya yang kampungan. Namun, saya kasihan sama temen-temen yang
giginya ditempelin tato hadiah dari ciki yang dibeli di warung mpok Lena, aksesoris,
behel.
Percaya diri, saya
masuk pada barisan awal dan hasilnya tidak begitu mengecewakan, saya lolos
dengan nilai memuaskan. Dalam tubuh saya tidak mengandung unsure metal. Bebas metal. Kebahagiaan saya tidak bisa lama,
pikiran saya langsung tertuju ke salah satu teman, Isna, dia memakai behel.
Bagaimana dia bisa lolos dari pintu neraka itu. Bagaimana?
Saya mulai panik
saat dia mendekati pintu dengan metal detector itu. Tidak.. kamu akan
tertangkap, suara seperti sirine akan membuat bising semua orang karena benda
metal yang menempel di giginya itu.
Dia lolos. Saya panic
campur, bingung, sekaligus lega melihatnya. “Kamu bisa lolos? Kamu bayar berapa
satpam itu?”, Isna hanya menjawab, “Aku lolos.” Sambil nyengir di depan semua
orang, ini memalukan, itu yang dia pamerkan hadiah dari ciki.
Lupakan kisah
antara Isna dan metal detector. Rombongan sudah berada dalam sebuah ruangan berac. Astaga, ini kenapa lagi. Oke, saya
maklumi. Karena tadi rombongan melebihi kuota, jadi beberapa mahasiswa harus
berbagi tempat duduk. Ada yang satu kursi dua orang, ada yang satu orang, kalau
itu sudah benar. Baguslah. Pihak SCTV sudah banyak berbicara tentang profile
company. Sesekali saya yang duduk di kursi depan menoleh ke arah belakang.
Betul, temen saya yang lain tidak tahan dengan ruangan berac. Sudah bisa ditebak hasilnya, dia kedinginan dengan sebuah benda
padat setengah cair bening keluar dari kedua lubang hidungnya, dia pilek. Kali
ini bukan Isna lagi. Melainkan Tino. Ini sungguh memalukan saya sebagai teman
mainnya sekaligus musuhnya dalam bermain PES 2013 merasa hina melihat kabar
itu.
Saya hanya bisa
mendoakannya semoga lekas sembuh dan lekas selesai dari pengenalan company
profile, dengan itu rombongan bisa cepat keluar dari ruangan ini, dan Tino bisa
terbebas dari siksaan kemodernisasian
ini. Kalau saya harus berdiri dan memboikot jalannya acara kan konyol,
“Hentikan acara ini sekarang. Teman saya sedang kesakitan di belakang sana
karena alat di atas itu. Alat apa itu?” kan tidak mungkin. Yang jadi, saya
ditertawakan semua rombongan. Hal konyol itu tidak akan saya lakukan. Lebih
baik Tino aja yang menderita. Hitung-hitung mengurangi dosa-dosanya saja karena
dia banyak sekali tidak bayar kalo lagi makan di kantin. Ampuni temen saya itu
ya Tuhan. Amin.
Acara pedekate
dengan SCTV di ruang berac sudah
selesai. Saya berniat mengadakan syukuran kecil kecilan dengan menyembelih
cicak yang dari tadi melihat saya selama acara berlangsung. Sebelum semua itu
terjadi, ku urungkan niat itu. Karena saya yakin daging cicak itu tidak akan
mampu mencukui semua rombongan. Kamu beruntung cicak, ingat urusan kita tidak
berhenti sampai di sini Cak Cicak di dinding.
Robongan kemudian
dibawa berkeliling menuju ruang siar Liputan6. Di sinilah awal mula berita itu
disebarkan. Jadi, kalau saya kangen sama ruang siar Liputan6 saya tinggal
nonton SCTV saja. Sederhana bukan.
Bukannya senang,
rombongan di bawa ke ruang siar Liputan6. Raut muka dari beberapa masiswa
justru menampakkan raut yang acuh. Hal ini cukup berdasar kalau boleh saya
mengeluhkan. Karena rombonagn yang berkunjung ke SCTV merupakan mahasiswa
jurusan Manajemen Produksi Siaran dan sebagian temen Manajemen Teknik Studio.
Mungkin bagi temen Manajemen Teknik Studio hal ini tidak begitu berpengaruh
secara signifikan, karena jurusan mereka itu ditujukan secara menyeluruh
tentang manajemen teknik. Namun, bagi temen Manajemen Produksi Siaran yang
secara content lebih mengutamakan unsure kreatifitas seninya, merasa ini
bukan bidang yang sesuai minat dan keahlian kita. “Harusnya kita ke Trans tv.”
Kata hampir semua mahasiswa Manajemen Produksi. Ya beginilah, kami harus
mengikuti. Kita, temen Manajemen Produksi sempat mengutarakan keluh kesah ini
saat rapat pendapat di Joint Lectur beberapa minggu sebelum keberangkatan. Kami
merasa seharusnya tidak ke SCTV. Secara pribadi saya tidak mempermasalahkan
itu. Toh yang namanya Manajemen
Produksi Siaran itu kan harusnya meliputi hal-hal yang berkaitan tentang
produksi, tidak terkecuali dalam ranah pemberitaan. Tentunya tidak secara
content acaranya lho. Namun, secara
produksinya.
Sampai
sini, rombongan dibagi menjadi dua bagian perjalanan. Awal mula macet di lift
selama 30 menit dimulai, dan saya termasuk yang ada di sana. Baiklah, kita
mulai.
Pembagian kelompok
itu dimaksudkan supaya mahasiswa bisa lebih fokus terhadap materi-materi yang
disampaikan oleh pihak SCTV. Awalnya saya ikut dalam rombongan yang sebagian
anggotanya laki-laki. Sampai sini masih normal. Rombongan saya naik ke lantai
10, di mana ruang contol siaran berada. Muter-muter, mendengarkan penjelasan
ini dan itu, saya sedikit paham. Kemudian rombongan turun ke lantai 8, lantai
siaran. Muter-muter lagi seperti obat nyamuk. Penjelasan bercampur membosankan
dan menyenangkan. Pertama karena saya bareng rombongan yang sebagian laki-laki
dan kedua karena, seharusnya kami tidak
di sini. Awal mula cobaan sudah mulai terasa. Rombongan yang sebaian
anggotanya laki-laki bertemu dengan rombongan yang sebagian anggotanya
perempuan. Berpapasan di lantai 8. Salah fokus.
Saya salah masuk
rombongan, tertukar. Hal tersebut dikarenakan saat kedua rombongan berpapasan
di lantai delapan. Lapar dan letih mulai mampir dalam diri. Saya mulai curiga
dan baru sadar saat sudah di dalam lift. “Kok saya di sini?” bisik dalam hati.
Tidak apalah, semriwing di sini gadisnya
banyak. Meski saya harus mengulang materi di lantai 10. Namun, saya tidak
merasa, “Ah, itu sudah pernah.” Saya justru senang. Kalau bisa hal ini diulang
sampai sepuluh kali juga oke.
Lantai 10 sudah
selesai. Rombongan yang sebagian perempuan berniat menyusul rombongan yang
sudah lebih dulu di lantai dasar. Masuk lift. Saya masuk berjejalan dengan para
perempuan, di tengah tengah. Pintu lift sudah nampak tertutp rapat. Salah satu
di antara kami menekan tombol angka yang menunjuk lantai dasar. Sampai di sini lancar.
Sampai di lantai 4
lift agak mulai ngadat, tak lama berselang lift berhenti bergerak dan, mogok.
Mampus. Ini pertama kalinya saya terjebak di dalam lift. Kejadian yang hanya
bisa saya lihat di film-film terjadi dan terpampang nyata di depan mata saya.
“Tolonggggggg!!!” kami semua berteriak secara kompak dengan suara lantang. Semua
orang yang berada di dalam lift sudah mulai panik, saya masih tetap stay cool.
Di
dalam ruangan tak lebih dari 2×2 meter ini pun saya serba salah. Bagaimana
tidak. Posisi saya yang berada ditengah-tengah antara perempuan. Mau maju salah
mundur salah, apalagi serong kanan kiri. Bisa jadi benjol sana sini.
Habis dari SCTV
dan beberapa dari rombongan terjebak di sana, kita langsung belanja di ITC (ITC
yang mananya kurang tahu). Namun, tak banyak juga yang memutuskan untuk
langsung balik ke hotel.
Universitas
Budi Luhur, Prambors Radio dan Kompas TV
Sesuai jadwal
kegiatan, kegiatan broadcast yang dibagian pada setiap mahasiswa, seharusnya
rombongan menuju ke Prambors radio di pagi hari dan dilanjutkan ke Kompas TV
Palmerah pada siang harinya. Perubahan agenda yang baru diberitahukan pagi hari
setelah jamuan makan pagi ini membuat rombongan kecewa dan menggeleng kepala
masing-masing.
Kerancauan di hari
kedua di mulai di sini. Bukan maksud saya menyalahkan perubahan agenda ini.
Pada kenyataanya ya beginilah. Dengan alibi jika semua rombongan ke Prambors radio
dan Kompas TV sesudah dari Universitas Budiluhur maka waktu tak akan sampai. Keputusan
untuk membagi rombongan menjadi dua bagian menuai kontroversi, sampai perang
batin di antara mahasiswa dan mahasiswa dengan dosen pun tak terelakkan. Hal
ini menimbulakan kebencian sejenak antara dosen pembimbing dan mahasiswa maupun
di antara mahasiswa sendiri.
Banyak mahasiswa
dari jurusan Manajemen Produksi Siaran dan Manajemen Teknik Studi yang
menginginkan kunjungan setelahnya ke Kompas TV. Pembagian kelompok pun
dilakukan dengan kesan terpaksa, dilakukan di dalam bus. Bukan secara agenda
yang telah disusun. Pembagian kelompok berdasar nomor urut presentasi, separuh
ke Kompas TV sisanya ke Prambos
Radio. Separuh rombongan tertawa dan sisanya tertawa jahat dalam hati, menangis
sejadinya. “Saya bayarnya sama kok buk!” kalimat itu terlontar dari belakang
barisan bus, entah siapa. Intinya sisa mahasiswa tadi tidak rela.
Relax.
Sampai di Universitas Budi Luhur rombongan diterima oleh pihak kampus.
Kebetulan yang mewakili penerimaan rombongan itu alumni dari MMTC Yogyakarta. Bangga.
Sama seperti kunjungan sebelumnya. Sesi perkenalan, pengenalan profile company
kampus, muter-muter dan sampai akhirnya perpisahan.
Perpecahan disumut
kembali. Sisa rombongan yang tersakiti harus mengantar rombongan yang bahagia
ke Kompas TV terlebih dulu. Sakitnya semakin bertambah. Sisa rombongan tak
sanggup melihat rombongan yang berbahagia itu saat turun dari bus dan masuk
menuju gedung Kompas TV dengan tawa riang, bernyanyi ala Bob Marley. Saya
sendiri hanya bisa menutup mata dengan jaket almamater warna biru yang dari
tadi saya gunakan sebagai lap penghapus air mata. Sisa rombongan yang lain juga
melakukan hal serupa.
Kesedihan saya
semakin bertambah, seharusnya saya bertemu dengan Mas Bima, produser Klik
Arbain yang dulu juga sempat menjadi produser Bumi Kita Kompas TV. Saya nangis
darah. “Maaf mas. Kayaknya saya gak bisa ke Kompas TV ni.”, “Oh, ini rombongan
kamu ya yang pake warna biru-biru itu. Ya, udah gak apa kok dek. Kapan-kapan
kan juga bisa ke sini lagi.” Suara itu terdengar dari jauh di telpon sana. Sad ending.
Bus melaju jauh
meninggalkan daerah Palmerah. Prambors Radio. Yeah baby, next destination.
Rombongan sisa ini mencoba dengan menghibur diri sebisa mungkin. Mulai dari
melakukan hal normal seperti minum air lewat mulut, sampai melakukan yang
absurd, makan roti lewat mulut. Saya sedih melihat kegilaan sejenak rombongan
sisa ini. Sabar teman, di balik orang yang
sabar pasti ada hikmah di sampingnya.
Alhamdulillah.
Harapan rombongan benar-benar terwujud. Selama dalam perjalanan menuju Prambors
Radio, rombongan melihat banyak sekali kejadian yang bisa sedikit mengobati
lara ini #hais. Mulai dari pengguna
jalan ada yang mirip dengan salah satu rombongan sisa kita. Sebut saja dia
Riri. Bagaimana tidak. Mulai dari morfologi
badannya yang gempal berisi (maafkan saya ya, Ri. Aibmu saya bongkar bongkar
kopinya bang Iwan di sini. Karena bang Iwan gak pernah salah pilih kopi), cara
dia jalan, cara dia megang handphone, semuanya mirip. Seisi bus pecah dengan
tawa dan ejekan yang ditujukan ke Riri. Yang sabar ya.
“Hei, lihat. Itu
kakaknya Riri.”, “Iya ya. Mirip beut. Pasti namanya Mebe, mirip beut.”, di
ujung kursi, Riri hanya bisa tertawa geli, antara kagum dan risih.
Selama perjalanan
pelipur lara itu, rombongan juga dipertontonkan balapan liar oleh para supir
bajaj. Wuish, keren tau. Dua buah bajaj yang sedang menarik penumpang melakukan
manuver. Serong kanan serong kiri, pokoknya keren dah. Pengen nonton lagi yang
kayak gitu. Belum lagi saat bajaj itu melakukan salip menyalip, saya yakin
bukan hanya kita yang nonton yang dibuat deg deg ser, tapi juga yang numpang di
dalemnya.
Tapi, ini kenapa
rombongan gak nyampe-nyampe di Prambors Radio ya? Katanya udah deket dari TKP.
“Bang Supir, katanya udah deket. Tapi, ini kok lama beut sih?” Deta yang ikut
dalam rombongan sisa menggerutu. Saya juga mengiyakannya. Kenapa lama amat ya?
Setelah rombongan sisa membuat tim buat menyelidiki tentang perihal apa yang
terjadi sehingga membuat perjalanan ini lama, sama kaya menunggu cinta dari
seorang yang hatinya lagi galau, “Ini kenapa lama? Kebelet pipis woy!” kali ini
yang ngomong si Jembi, Alfin, kesel.
“Kayaknya kita
nyasar deh neng.” Kata pak supir yang sudah menampakkan muka bingung.
“Lho kok bisa sih
pak? Anda kan supirnya. Katanya udah lama jadi supir bus pariwisata?” Deta
semakin kesel.
“Iya mba, udah
lama jadi supir. Tapi, kan supir trans Jogja.”
“Apa? Trans Jogja?
Trus ini gimana dong saya dan temen-temen rombongan? Udah, cari GPS aja.”
Deta pun
menunjukkan hasil scan GPSannya. “Oh, di situ ya neng?” datar tanpa dosa.
Nampaknya pak supir dan teman-temannya gak begitu yakin dengan hasil scan GPSan
Deta. Salah satu teman pak supir turun dan menanyakan pada warga sekitar
komplek. Setelah turun dan meyakinkan di mana lokasi Prambors Radio, rombongan
pun meluncur lagi. Dan yang bikin sakit hati itu, dari tadi kita muter-muter
komplek ini yang hasilnya gak nemu di mana lokasinya, ternyata cuma tinggal
belok kiri aja dari posisi awal. Kesel beut. Letak Prambors Radio ada di dalam
komplek perumahan cuy.
Sampai. Saya dan
rombongan melakukan sujud sukur, serta tumpengan kecil-kecilan.
Masuk Prambors
Radio, Jembi masih mencari di mana wcnya. Oke, lupakan Jembi dan air warna
kuningnya.
Aneh binti ajaib.
Entah ini rencana Tuhan atau rencana setan? Ternyata kesesatan kita (baca.
Salah jalan) ada kaitannya dengan orang yang kita bully tadi di jalan, iya,
kembarannya Riri. Rombongan sisa ketemu duplikatnya Riri di sana. Tuhan murka
pada rombongan sisa yang hanya bisa mengeluh dan mencaci mereka yang lemah tak
berdaya, rapuh bagai butiran debu tanpa tahu arah jalan pulang. Sad endingnya double.
Di Prambors Radio
pun, kelanaan rombongan bentar beut (baca. Bet), cuma sejam. Abis itu cabut.
Menjemput luka yang lama udah kita kubur dalam-dalam. Apa itu? Menjemput
rombongan yang di Kompas TV. Ih, amit-amit. Saat ketemu rombongan emas di sana
pun, muka rombongan sisa nampak acuh.
Itu tuh yang biasa ada tulisan di pinggir jalan “Strum accu” udah gitu doang.
Karna saya dan
rombongan sisa tidak ke Kompas TV (hanya sebentar saja, itu pun hanya
berkunjung ke studio siarnya Kuis Versus saja, waktu itu lagi taping sih. Dan yang lebih menyakitkan
itu, rombongan yang ke sana mendapat kaos Standup Kompas TV season 3, dan
rombongan sisa hanya bisa menonton kebahagiaan semu mereka.), jadi saya
males menceritakan kunjungan ke sana.
Di dalam bus pun,
kebencian masih ditebarkan oleh kedua kubu. Sampai akhirnya perang batin
disulut. Di twitter, di Facebook, bahkan peperangan ini berlanjut hingga kamar
hotel. Ketidak adilan ini menimbulkan perpecahan.
LPP
RRI
Intinya. Pada hari
terakhir kita di Jakarata ya Cuma ke RRI.
Goes
to Bandung
Trans Studio
Bandung. Bandung sendiri adalah salah satu kota yang mendapat perlakuan
istimewa dari sayaPENCET. Mau tahu kenapa? Kepoin blog saya. Semua udah saya jabarkan
di sana. Di TSB itu isinya cuma main dan main. Tapi, sukak beut.
foto oleh mas-mas yang ada di sana.
Udah sampe sekian
ya. Tangan udah pegel, saya yakin lu juga pegel bacanya kan. Ya udah, salam
woyo. Muah muah.