7.15.2014

gugur bunga



Aku berdiri di depan kosan pacar, pacar baru. Untuk pertama kali dan semoga menjadi yang terakhir aku berdiri menunggu dia. Karena, aku nggak mau terduduk tangis di kursi taman kota saat hujan deras-derasnya.

Aku biasanya duduk di kursi panjang depan kosannya, kursi yang disediakan buat tamu kos yang hendak berkunjung. Lima menit menunggu, dia sudah datang menghampiriku di kursi.  Aku sudah hampir mati digigit nyamuk, jika dia agak lama sedikit.

Dia menghampiriku, datang dengan senyum manis di bibir, aku tak mau kalah, senyum manis bibirku membalas senyumnya. Kami pun menikmati sisa hari ini dengan ketawa bareng.
Seminggu belakangan, aku lebih sering menghabiskan waktu dengan dia, daripada nongkrong di perpustakaan kampus. Tapi, aku merasa semua berjalan baik-baik saja.

Beberapa hari terakhir kegiatan pacaran kami lebih sering diisi dengan makan malam bareng, ngafe sambil ngopi bareng, seneng-seneng aja isinya. Sesekali nonton standup comedy di djendelo koffie setiap hari jumat. Dia senang sekali. Penampil bergantian, di sela-sela itu dia selalu memegang ponselnya, daripada mengajakku bicara. ‘Sayang, gimana tadi penampilnya, lucu kan?’ tanyaku.

‘Lucu kok, Sayang.’ Dia masih asik dengan ponselnya. Mungkin dia membalas pesan singkat temannya yang menanyakan tugas di hari senin, pikirku.
‘Sayang, pulang yuk. Udah malem nih.’ Pintanya.
‘Ayo, lagian kalau terlalu malem ntar dinginnya sampe nusuk ke hati beneran..’ gurauku yang tak ditanggapinya serius. Mungkin terlalu garing, air mana air?, ada yang garing nih. ‘Oh, gitu ya.’
Selama perjalanan pulang tak ada obrolan yang berarti. Kedua tangannya melingkar di pinggangku. Sesampainya di depan kosan, aku mematikan motor dan melepas helm di kepalanya. ‘Makasih ya, Sayang buat malem ini.’ kecup manis bibirku mendarat di keningnya yang penuh keringat. ‘Ih, kamu tadi nggak mandi ya?’ untung saja aku nggak benar menanyakan hal itu. Gila apa? Pacaran itu harus nggak jujur, harus suka muji meski sebenarnya bohong.

‘Sayang, kamu hari ini cantik banget. Pita rambut kamu keren, baju kamu juga cocok sama warna sepatu kamu..’ padahal warna sepatunya merah, bajunya warna kuning, dan dia pake pita rambut warna hijau. Ini lebih mirip Bob Marley versi perempuan. Tapi, apa iya aku berkata itu sama dia, bisa jadi aku diludahin seketika itu. 

Dia masuk melewati gerbang. Aku pun meninggalkan dia dengan terbayang kecupan di kening tadi. Entah kenapa, aku menghentikan motor dengan tiba-tiba. Sepertinya ada yang tertinggal. Buku bacaan, buku bacaan, buku bacaan (sengaja diulang-ulang biar lebih dramatis.. hehe) yang harus dikembalikan besok. Aku memutar balik, namun belum sampai di kosan, ada yang menghentikan motorku, pria di depan gerbang berbincang dengan perempuan yang sepertinya tak asing, pacarku. Pacarku berciuman dengan pria lain. Harapan apa yang pria itu berikan, buah cinta masa depan?

Besokya aku ngajak ngobrol sama dia di café.
‘Kamu tadi malem ke mana?’
‘Kok kamu nanya gitu sih, Sayang? Kan kita abis jalan bareng.’
‘Setelah aku nganterin kamu pulang?’
‘Setelah itu? Ya, di kosan saja. Emang kemana lagi, lagian udah malem, Sayang.’
‘Pria itu?’
‘Kok kamu tiba-tiba nanyanya gitu? Dia itu temen aku, Sayang. Dia mau minjem buku catetan aku.’
‘Harus dengan ciuman di pinggir jalan, apa itu sikap seorang teman pada temannya?’
‘Maafin aku, Sayang.’ Sambil menarik tanganku dengan memohon.

Jika ini kenyataan bahwa dia lebih memilih pria di malam itu. Mungkin aku hanya sebagian malam yan menghiasi setiap malamnya.
==

‘Sayang, nanti bisa ketemu di perpustakaan kampus ga?’
‘Bisa, ada apa, kok tumben kamu ngajak ketemuannya di perpustakaan?’
‘Nggak apa kok. Bisa kan.’

Perpustakaan kampus kami terletak di belakang kampus lantai dua. Aku harus menaiki anak tangga untuk bisa ke sana. Aku melihat dia sendiri dengan buku yang sedang ia baca. Aku menghampirinya, ‘Sendirian aja, Sayang. Ada apa kok tumben ngajak ketemunya di sini.’ Aku langung mengambil duduk di depannya, agar bisa melihat wajahnya yang bulat. Dia meletakkan buku yang sedari tadi ia baca. Memandangku sejenak dan melontarkan kata.
‘Aku minta putus.’
‘Putus?’
‘Iya.’
‘Ya udah kalau itu maumu.’ Tanpa banyak kata, aku langsung meninggalkannya sendirian di perpustakaan.

Menyimpan kesedihan yang baru saja melanda hatiku. Meski dia pernah menyakiti cinta kita dari belakang, namun masih saja aku menangisinya saat hal ini terjadi. Menangis di depan perempuan saat dia memutuskan kita akan menurunkan harga diri kita. Mending terlihat keren dengan langsung meninggalkannya dan menangis bombai di kamar mandi sesuka hati. Meski hal itu lebih cemen dari segala apapun yang pernah membuat kita malu di depan umum, setidaknya nggak nangis depan perempuan adalah harga mati.

Setelah menuruni beberapa anak tangga dan sudah berada di luar perpustakaan menuju parkiran motor, air mataku mulai menetes. Aku mencoba memnyekanya dengan kedua lengan. Nggak ingin ada orang yang melihatnya, itu akan membuat rasa malu bertambah. Aku baru bisa benar-benar menumpahkan air mata tanpa membasuhnya saat berada di atas motor yang berjalan. Aku nangis sekenceng-kencengnya, orang tahu juga nggak mau pikir, toh kita juga nggak kenal. Sampai di kosan, inilah surga buat nangis saat pria habis diputusin pacarnya. Mungkin, jika selama perjalanan turun hujan suasanya akan lebih dramatis dengan kamera yang zoomin zoomout ke muka jelekku.

Aku berdiri depan gerbang kosannya, seminggu setelah kejadian menjijikkan itu, nangis di atas motor. Jujur, sakit di hati. Jika nyatanya engkau memilih dia. Aku tak mau larut dalam angan tanpa tujuan. Ini merupakan hari terakhir aku berdiri depan pagar kosannya, bukan buat ngajak dia jalan, melainkan buat naruh bunga yang sama saat aku menyatakan cinta padanya dulu, ini bunga perpisahan kita.

Tidak ada komentar: