Aku
berdiri di depan kosan pacar, pacar baru. Untuk pertama kali dan semoga menjadi
yang terakhir aku berdiri menunggu dia. Karena, aku nggak mau terduduk tangis
di kursi taman kota saat hujan deras-derasnya.
Aku
biasanya duduk di kursi panjang depan kosannya, kursi yang disediakan buat tamu
kos yang hendak berkunjung. Lima menit menunggu, dia sudah datang menghampiriku
di kursi. Aku sudah hampir mati digigit
nyamuk, jika dia agak lama sedikit.
Dia
menghampiriku, datang dengan senyum manis di bibir, aku tak mau kalah, senyum
manis bibirku membalas senyumnya. Kami pun menikmati sisa hari ini dengan
ketawa bareng.
Seminggu
belakangan, aku lebih sering menghabiskan waktu dengan dia, daripada nongkrong
di perpustakaan kampus. Tapi, aku merasa semua berjalan baik-baik saja.
Beberapa
hari terakhir kegiatan pacaran kami lebih sering diisi dengan makan malam bareng,
ngafe sambil ngopi bareng, seneng-seneng aja isinya. Sesekali nonton standup comedy di djendelo koffie setiap
hari jumat. Dia senang sekali. Penampil bergantian, di sela-sela itu dia selalu
memegang ponselnya, daripada mengajakku bicara. ‘Sayang, gimana tadi
penampilnya, lucu kan?’ tanyaku.
‘Lucu
kok, Sayang.’ Dia masih asik dengan
ponselnya. Mungkin dia membalas pesan singkat temannya yang menanyakan tugas di
hari senin, pikirku.
‘Sayang,
pulang yuk. Udah malem nih.’ Pintanya.
‘Ayo,
lagian kalau terlalu malem ntar dinginnya sampe nusuk ke hati beneran..’
gurauku yang tak ditanggapinya serius. Mungkin terlalu garing, air mana air?,
ada yang garing nih. ‘Oh, gitu ya.’
Selama
perjalanan pulang tak ada obrolan yang berarti. Kedua tangannya melingkar di pinggangku.
Sesampainya di depan kosan, aku mematikan motor dan melepas helm di kepalanya.
‘Makasih ya, Sayang buat malem ini.’ kecup manis bibirku mendarat di keningnya
yang penuh keringat. ‘Ih, kamu tadi nggak mandi ya?’ untung saja aku nggak
benar menanyakan hal itu. Gila apa? Pacaran itu harus nggak jujur, harus suka
muji meski sebenarnya bohong.
‘Sayang,
kamu hari ini cantik banget. Pita rambut kamu keren, baju kamu juga cocok sama warna
sepatu kamu..’ padahal warna sepatunya merah, bajunya warna kuning, dan dia
pake pita rambut warna hijau. Ini lebih mirip Bob Marley versi perempuan. Tapi,
apa iya aku berkata itu sama dia, bisa jadi aku diludahin seketika itu.
Dia
masuk melewati gerbang. Aku pun meninggalkan dia dengan terbayang kecupan di
kening tadi. Entah kenapa, aku menghentikan motor dengan tiba-tiba. Sepertinya ada
yang tertinggal. Buku bacaan, buku bacaan, buku bacaan (sengaja diulang-ulang
biar lebih dramatis.. hehe) yang harus dikembalikan besok. Aku memutar balik,
namun belum sampai di kosan, ada yang menghentikan motorku, pria di depan
gerbang berbincang dengan perempuan yang sepertinya tak asing, pacarku. Pacarku
berciuman dengan pria lain. Harapan apa yang pria itu berikan, buah cinta masa
depan?
Besokya aku ngajak ngobrol sama dia di café.
‘Kamu
tadi malem ke mana?’
‘Kok
kamu nanya gitu sih, Sayang? Kan kita abis jalan bareng.’
‘Setelah
aku nganterin kamu pulang?’
‘Setelah
itu? Ya, di kosan saja. Emang kemana lagi, lagian udah malem, Sayang.’
‘Pria
itu?’
‘Kok
kamu tiba-tiba nanyanya gitu? Dia itu temen aku, Sayang. Dia mau minjem buku
catetan aku.’
‘Harus
dengan ciuman di pinggir jalan, apa itu sikap seorang teman pada temannya?’
‘Maafin
aku, Sayang.’ Sambil menarik tanganku dengan memohon.
Jika ini kenyataan bahwa dia lebih
memilih pria di malam itu. Mungkin aku hanya sebagian malam yan menghiasi
setiap malamnya.
==
‘Sayang,
nanti bisa ketemu di perpustakaan kampus ga?’
‘Bisa,
ada apa, kok tumben kamu ngajak
ketemuannya di perpustakaan?’
‘Nggak
apa kok. Bisa kan.’
Perpustakaan
kampus kami terletak di belakang kampus lantai dua. Aku harus menaiki anak
tangga untuk bisa ke sana. Aku melihat dia sendiri dengan buku yang sedang ia
baca. Aku menghampirinya, ‘Sendirian aja, Sayang. Ada apa kok tumben ngajak ketemunya di sini.’ Aku langung mengambil duduk
di depannya, agar bisa melihat wajahnya yang bulat. Dia meletakkan buku yang
sedari tadi ia baca. Memandangku sejenak dan melontarkan kata.
‘Aku
minta putus.’
‘Putus?’
‘Iya.’
‘Ya udah
kalau itu maumu.’ Tanpa banyak kata, aku langsung meninggalkannya sendirian di
perpustakaan.
Menyimpan kesedihan yang baru saja melanda hatiku. Meski dia
pernah menyakiti cinta kita dari belakang, namun masih saja aku menangisinya
saat hal ini terjadi. Menangis di depan perempuan saat dia memutuskan kita akan
menurunkan harga diri kita. Mending terlihat keren dengan langsung
meninggalkannya dan menangis bombai di kamar mandi sesuka hati. Meski hal itu
lebih cemen dari segala apapun yang pernah membuat kita malu di depan umum,
setidaknya nggak nangis depan perempuan adalah harga mati.
Setelah
menuruni beberapa anak tangga dan sudah berada di luar perpustakaan menuju
parkiran motor, air mataku mulai menetes. Aku mencoba memnyekanya dengan kedua
lengan. Nggak ingin ada orang yang melihatnya, itu akan membuat rasa malu
bertambah. Aku baru bisa benar-benar menumpahkan air mata tanpa membasuhnya
saat berada di atas motor yang berjalan. Aku nangis sekenceng-kencengnya, orang
tahu juga nggak mau pikir, toh kita
juga nggak kenal. Sampai di kosan, inilah surga buat nangis saat pria habis
diputusin pacarnya. Mungkin, jika selama perjalanan turun hujan suasanya akan
lebih dramatis dengan kamera yang zoomin zoomout ke muka jelekku.
Aku
berdiri depan gerbang kosannya, seminggu setelah kejadian menjijikkan itu,
nangis di atas motor. Jujur, sakit di hati. Jika nyatanya engkau memilih dia.
Aku tak mau larut dalam angan tanpa tujuan. Ini merupakan hari terakhir aku
berdiri depan pagar kosannya, bukan buat ngajak dia jalan, melainkan buat naruh
bunga yang sama saat aku menyatakan cinta padanya dulu, ini bunga perpisahan
kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar