5.20.2013

Linda Tino


Linda sudah menolak tawaran yang diajukan Tino hari ini: makan di resto ala Italy, nonton film di bioskop berturut-turut selama seminggu penuh dan seharusnya yang nggak boleh perempuan lain di luar sana tolak, namun dia tolak, Honda jazz warna silver dengan plat nomor sesuai nama Linda: bisa jadi L 1NDA. Apa mau dikata, dia bukan seperti perempuan lain.

“Besok puasa yuk, Tino?” emoticon senyum.
“Boleh, asal kamu bangunin aku. Harus telepon nggak boleh sms!” hanya bercanda.
“Misscall aja ya. Pulsa aku udah mepet nih, kaya jalanan Solo, sempit.”
“Janji ya, awas kalo bohong.”

Pukul 11.59 waktu Singapore. Tino tidur di emperan toko yang ada di bawah jembatan layang, miskinnya double, ampe tumpe-tumpe. Pasang headset, denger musik ska, musik dengan beat cepat. Selamat malam hari, sampai bertemu esok.

***

Di depan rumah berlantai 5, Tino berdiri. Memandangi gelap malam dan ditemani dingin angin. Tak berbintang dan tak bernyanyi, berdiri. Di depan ia pandangi cahanya biru membentang, membentuk cembungan besar, besar sekali. Menyilaukan mata siapa saja di malam itu. Suara yang dihasilkan dari kilatan cahaya berwarna biru sangat keras, mempekak telinga manusia di sana.

“Allahu akbar!!!”
“Cahaya apa itu?” semua mata menunduk melihatnya, tak sanggup memandang. Hingga posisi mereka sejajar dengan tanah yang mereka injak.

Penampakan cahaya biru itu berulang hingga lima kali. Memekakkan telinga lima kali juga.

Pesan masuk,
Bangun. *nada dering pesan membangunkan Tino*

*suara menekan tombol telepon*
*tit tit tit bukan alat kelamin pria tapi suara menekan tombol handphone. Bukan juga tut tut tut karna itu nama temen Tino.

*******44550 kemudian yess atau oke, pulsa lokal.

“Linda, aku mimpi buruk.”
“Mimpi buruk tentang apa?”
“Aku mimpi melihat cahaya warna biru, aku lupa mimpi apa tadi, pokoknya serem banget.”
“Kamu udah sahur?”
“Ya udah, ditinggal sahur dulu gih!”

*telepon terputus*
*menekan nomor telepon seperti tadi*
*telepon tersambung*

“Kamu mau nggak nanti buka bareng sama aku?” meski Tino ada di Singapore tapi dia siap datang ke Indonesia.
“Aku nggak bisa, Tino.”
“Aku yang bayar deh, gimana?”
“Tetep nggak bisa, Tino.”
“Kenapa?”
“Nanti pacar aku marah.”
“Kita kan hanya temen, hanya sebagai temen.”
“Tapi pacar aku nggak ngebolehin.”
“Anggap aja ini sebagai traktiran biasa aja, Linda. Seperti seorang teman mengajak temannya makan, udah gitu aja nggak lebih.”
“Tetep nggak bisa, Tino. Aku minta maaf.”
“Baiklah, kamu bisanya kapan?”
“September tanggal 5?”
“Itu kan barengan sama ulang tahun kamu?”
“Memang.”
“Maksudnya apa?”
“Aku maunya kamu ngajak aku makan sekalian sama pacar aku.”
“Tapi aku nggak bisa kalo ada pacar kamu.”
“Berarti aku juga nggak bisa menerima tawaranmu, Tino. Maaf.”

*telepon terputus*

Tino menjalankan puasa hari itu dengan lancar hingga buka, dengan tulus karena Allah subhanahu wata’ala, tanpa ada maksud dan tujuan dari mencintai manusia. Sepertinya mimpi itu telah menggugah hati Tino. Soal Tino memaksa buat buka puasa dengan Linda hanya sebatas permintaan seorang teman kepada temannya, yang sudah tak lama jumpa.
Linda, masih setia dengan pacarnya, sebentar lagi dia menikah. Dia nggak akan menerima tawaran dari siapa pun laki-laki di luar sana untuk makan malam, bahkan dari Ahmad Fathanah sekali pun, tanpa sepengetahuan dari pacarnya.

Tidak ada komentar: