Linda sudah menolak tawaran yang diajukan Tino
hari ini: makan di resto ala Italy, nonton film di bioskop berturut-turut
selama seminggu penuh dan seharusnya yang nggak boleh perempuan lain di luar
sana tolak, namun dia tolak, Honda jazz warna silver dengan plat nomor sesuai
nama Linda: bisa jadi L 1NDA. Apa mau dikata, dia bukan seperti perempuan lain.
“Besok puasa yuk, Tino?” emoticon senyum.
“Boleh, asal kamu bangunin aku. Harus telepon
nggak boleh sms!” hanya bercanda.
“Misscall aja ya. Pulsa aku udah mepet nih, kaya
jalanan Solo, sempit.”
“Janji ya, awas kalo bohong.”
Pukul 11.59 waktu Singapore. Tino tidur di emperan
toko yang ada di bawah jembatan layang, miskinnya double, ampe tumpe-tumpe. Pasang headset, denger musik ska, musik dengan beat cepat. Selamat malam hari, sampai bertemu esok.
***
Di depan rumah berlantai 5, Tino berdiri. Memandangi
gelap malam dan ditemani dingin angin. Tak berbintang dan tak bernyanyi,
berdiri. Di depan ia pandangi cahanya biru membentang, membentuk cembungan
besar, besar sekali. Menyilaukan mata siapa saja di malam itu. Suara yang
dihasilkan dari kilatan cahaya berwarna biru sangat keras, mempekak telinga
manusia di sana.
“Allahu akbar!!!”
“Cahaya apa itu?” semua mata menunduk melihatnya,
tak sanggup memandang. Hingga posisi mereka sejajar dengan tanah yang mereka
injak.
Penampakan cahaya biru itu berulang hingga lima
kali. Memekakkan telinga lima kali juga.
Pesan
masuk,
Bangun. *nada dering pesan membangunkan Tino*
*suara
menekan tombol telepon*
*tit tit tit bukan alat kelamin pria tapi suara menekan
tombol handphone. Bukan juga tut tut
tut karna itu nama temen Tino.
*******44550
kemudian yess atau oke, pulsa lokal.
“Linda, aku mimpi buruk.”
“Mimpi buruk tentang apa?”
“Aku mimpi melihat cahaya warna biru, aku lupa
mimpi apa tadi, pokoknya serem banget.”
“Kamu udah sahur?”
“Ya udah, ditinggal sahur dulu gih!”
*telepon terputus*
*menekan
nomor telepon seperti tadi*
*telepon tersambung*
“Kamu mau nggak nanti buka bareng sama aku?” meski
Tino ada di Singapore tapi dia siap datang ke Indonesia.
“Aku nggak bisa, Tino.”
“Aku yang bayar deh, gimana?”
“Tetep nggak bisa, Tino.”
“Kenapa?”
“Nanti pacar aku marah.”
“Kita kan hanya temen, hanya sebagai temen.”
“Tapi pacar aku nggak ngebolehin.”
“Anggap aja ini sebagai traktiran biasa aja,
Linda. Seperti seorang teman mengajak temannya makan, udah gitu aja nggak lebih.”
“Tetep nggak bisa, Tino. Aku minta maaf.”
“Baiklah, kamu bisanya kapan?”
“September tanggal 5?”
“Itu kan barengan sama ulang tahun kamu?”
“Memang.”
“Maksudnya apa?”
“Aku maunya kamu ngajak aku makan sekalian sama
pacar aku.”
“Tapi aku nggak bisa kalo ada pacar kamu.”
“Berarti aku juga nggak bisa menerima tawaranmu,
Tino. Maaf.”
*telepon terputus*
Tino menjalankan puasa hari itu dengan lancar
hingga buka, dengan tulus karena Allah subhanahu wata’ala, tanpa ada maksud dan
tujuan dari mencintai manusia. Sepertinya mimpi itu telah menggugah hati Tino. Soal
Tino memaksa buat buka puasa dengan Linda hanya sebatas permintaan seorang
teman kepada temannya, yang sudah tak lama jumpa.
Linda, masih setia dengan pacarnya, sebentar lagi
dia menikah. Dia nggak akan menerima tawaran dari siapa pun laki-laki di luar
sana untuk makan malam, bahkan dari Ahmad Fathanah sekali pun, tanpa
sepengetahuan dari pacarnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar