5.19.2013

Raden Said


Setelah ketahuan merampok bahan makanan yang ada di gudang kerajaan Tuban, Raden Said mendapat hukum rajang di tangan oleh Tumenggung Wilatikta, ayahnya sendiri. Hati Raden Said sangat gusar melihat penderitaan rakyat Tuban saat itu yang serba kesusahan dan hidup dalam keadaan miskin akibat penarikan pajak dari pihak kerajaan Tuban yang terlalu tinggi, tanpa mempedulikan musim itu sedang paceklik.
Dengan kondisi tangan yang hampir melepuh akibat dirajang ayahnya sendiri karena terbukti mencuri bahan makanan di gudang, Raden Said merasakan sakit luar biasa. Ia hanya merenung di kamar seorang diri. Sampai ia membawa rasa sakit itu hingga ke alam tidur. Dalam tidurnya, Raden Said bertemu dengan sosok kakek tua berpakaian serba putih sambil membawa kembang wijaya kusuma di tangan kakek tua itu. Diberikannya kembang itu kepada Raden Said tanpa menjawab pertanyaan yang diajukan Raden Said, “Siapa anda tuan dan apa maksud anda memberikan bunga ini?”

Dewi Nawangrum, ibu Raden Said mendengar igauan anaknya itu lantas mendatangi kamar Raden Said, “Bangun anakku.. kenapa kamu mengigau seperti itu?”
“Ibu.. tadi saya bermimpi bertemu seorang kakek tua berpakaian serba putih lantas kakek tua itu memberikan bungan ini. Apa maksudnya dan siapakah kakek tua itu ibu?”
“Nak Said, lihat tanganmu, sudah sembuh.”
“Kenapa ini?” Raden Said kebingungan sendiri. “Siapa sebenarnya dia ibu?”
“Dia itu eyangmu nak, Tumenggung Ranggalawe.”

Esok harinya, Raden Said berpamitan kepada Ayah, Ibu dan adik perempuannya untuk berkelana.

Dalam perjalanannya itu Raden Said kembali merampok harta dari orang-orang kaya yang pelit dan kikir, yang tidak mau bersedekah dan kemudian membagikan setiap hasil rampokannya itu pada rakyat miskin di daerah rampokan. Pada suatu saat Raden Said menjumpai segerombolan perampok di daerah itu. Raden Said mencoba merampas hasil rampokan dari gerombolan itu untuk kemudian dibagikan pada rakyat miskin. Gerombolan itu melakukan perlawanan pada Raden Said, hingga terjadi perkelahian sengit. Dalam melakukan aksi merapoknya, Raden Said selalu menggunakan pakaian serba hitam dan dengan penutup kepala hitam juga, sehingga identitsanya tidak diketahui.

“Siapa kamu anak sialan, beraninya memalak kami.. kamu belum tahu siapa kita?” teriak kepala gerombolan perampok itu.
“Kamu belum tahu siapa saya? Saya Lokajaya.” Raden Said menggunakan nama Lokajaya dalam setiap aksi merapoknya, agar tidak diketahui sejatinya dia, yang sebenarnya anak seorang Tumenggung Wilatikta, Adipati Tuban.

Dalam perkelahian itu, walau Raden Said sendiri, namun bisa mengalahkan gerombolan perampok itu. Hasil jarahan rampok pun berpindah tangan dan Raden Said meminta agar gerombolan rampok itu untuk berhenti merampok dan menyuruh mereka segera bertaubat. Permintaan itu tidak disanggupi gerombolan rampok, namun melihat kondisi mereka yang sudah babak belur, memaksa mereka harus menuruti saja perintah Raden Said.
Gerombolan rampok itu pun menyusun rencana balas dendam karena Raden Said telah mengambil hasil rampokan mereka. Pakaian serba hitam yang dikenakan Raden Said dalam menjalankan setiap aksinya ternyata menjadi ide untuk menjebak Raden Said sendiri. Semua gerombolan perampok itu memakai pakaian serba hitam sama seperti yang digunakan Raden Said. Dalam rencana penjebakan itu gerombolan perampok memperkosa seorang janda kembang desa, beberapa perampok berjaga di semak-semak untuk menjaga situasi. Janda kembang itu berteriak minta pertolongan, “Tolong.. tolong..” mendengar ada suara orang minta pertolongan, Raden Said segera datang. Beberapa warga sekitar yang kebetulan berada di sekitar gubuk yang ditempati janda kembang segera berbondong-bondong datang. Saat gerombolan pengintai melihat kalau Raden Said datang, mereka segera memberi tahu temannya yang mengeksekusi janda kembang untuk segera pergi ke dalam hutan. Ketika Raden Said sudah berada di dalam rumah janda kembang, tak lama berselang warga datang. “Tolong saya.. pria berpakaian hitam itu hendak memperkosa saya.”

Sontak warga yang datang menangkap Raden Said untuk kemudian dibawa ke kerajaan Tuban untuk diadili. Istana Tuban kembali gempar melihat anak Tumenggung Wilatikta, penguasa Tuban tertangkap memperkosa seorang janda kembang desa. Untuk kali ini Tumenggung Wilatikta benar-benar tidak bisa memaafkan kejahatan yang dilakukan anaknya. Tumenggung Wilatikta akhirnya mengusir putranya itu untuk tidak boleh kembali ke wilayah Tuban. Dewi Nawangrum sedih dan tidak percaya kalau yang melakukan pemerkosaan adalah anak kesayangannya, pasti anaknya telah difitnah oleh seseorang. Adik putri Raden Said juga bersedih melihat kejadian itu, dia yakin kakaknya tidak akan pernah berbuat seperti itu.

“Sudah.. sudah, Said. Meskipun kamu anak kerajaan Tuban tapi kelakuanmu itu sungguh tidak mencerminkan sebagai anak raja. Kamu pantas dihukum, pergi dari kerajaan kekuasaan ayahmu ini dan ingat, jangan pernah sekali-kali kamu kembali ke tanah ini sebelum kamu getarkan dinding-dinding kerajaan ini. Mengerti kamu Said?”

Raden Said hanya menganggukkan kepala, menandakan ia sangat menerima hukuman dari ayahnya serta cobaan yang diberikan Allah atas dirinya sebagai pelajara hidup.

Di tanah perantauannya saat ini, Glagah Wangi, Raden Said kembali merampok harta orang kaya yang pelit bersedekah, dan kembali setiap harta hasil rampokannya selalu dibagikan pada rakyat miskin setempat. Lokajaya semakin dikenal di daerah Glagah Wangi, Demak.
Suatu waktu Lokajaya bertemu seorang kakek tua dengan pakaian serba putih tanpa membawa harta benda apa pun, namun yang menarik perhatian Lokajaya untuk merampoknya adalah tongkat yang dibawanya sangatlah berkilau dan memancarkan cahaya, “Pasti itu terbuat dari emas.” kata Lokajaya lirih.

“Berhenti kamu kakek tua. Serahkan hartamu.”
“Harta? Apa yang kamu maksud? Saya tidak punya apa-apa.”
“Jangan pura-pura bodoh kakek tua. Tongkatmu berkilau, pasti itu emas. Serahkan tongkat itu padaku sekarang.”
“Kamu memintaku untuk menyerahkan tongkat ini padamu? Saya sudah tua renta anak muda, lantas bagaimana nanti saya berjalan.”
“Bukan urusan saya. Serahkan tongkat itu atau kamu tidak akan melihat dunia lagi.” Ancam Lokajaya.
“Anak muda, kenapa kamu memaksa sekali untuk memiliki tongkat ini. Padahal di atas pohon aren itu buahnya semuanya emas.” Sambil menunjuk pohon aren menggunakan tangan.

Lokajaya hanya bisa terperanjat melihat pohon aren dengan buah emas. Tak mau lama berfikir, Lokajaya segera memanjat pohon aren untuk mengambil buah aren emas itu. Namun sesampainya di atas pohon aren itu tiba-tiba buah aren emas itu kembali menjadi buah aren biasa. Lokajaya kemudian turun dan mengejar kakek tua itu yang sudah pergi meninggalkannnya sambil berteriak, “Tunggu kakek tua..”

“Ijinkan saya untuk menjadi muridmu, dan maaf, siapakah engkau tuan? Saya Raden Said, putra Tumenggung Wilatikta dari Tuban.”
“Untuk apa kamu menjadi murid ku? Apa kamu ingin menguasai ilmu mengubah buah aren menjadi emas?”
“Bukan tuan. Saya benar-benar bertaubat.”
“Baiklah, Nak Said.” Menghela nafas.
“Bagaimana engkau tahu nama saya tuan?” Said terheran.
“Mungkin kamu tidak ingat Nak Said, saat kamu masih kecil saya sering mengunjungi ayahmu di Tuban. Saya adalah Sunan Bonang.”
“Sunan Bonang? Maafkan saya.. saya benar-benar tidak tahu.”
“Tak apa Nak Said, mungkin saat itu kamu masih kecil jadi tidak begitu mengetahu ku. Baiklah, jika kamu benar bersungguh-sungguh ingin menjadi murid saya, jagalah tongkat ini selama saya pergi ke kerajaan Demak.”

Kemudian Sunan Bonang menancapkan tongkat yang dibawanya ke tanah di dekat sungai. Tanpa bertanya, Raden Said menyanggupi syarat yang diajukan Sunan Bonang. 40 hari sudah berlalu dan Raden Said masih menjaga tongkat dari Sunan Bonang tanpa berpindah tempat, bahkan saat terik matahari menyengat dan hujan turun membasahi, Raden Said masih bertahan, dingin hujan dan dingin malam juga dijalani, hingga lumut mengelilingi sekujur tubuh Raden Said.
Sekembalinya dari kerajaan Demak, Sunan Bonang melihat Raden Said yang masih menunggu tongktanya itu, dengan keyakinan bahwa Raden Said masih di sana. Ternyata benar, Raden Said masih setia menunggu di sana. Bahkan tubuhnya sampai ditumbuhi lumut.
Keteguhan Raden Said menggugah hati Sunan Bonang untuk mengajarinya ilmu tentang perwalian, setelah ilmu agama dan ilmu tentang ketata negaraan yang telah Raden Said dapatkan selama berada di lingkungan kerajaan Tuban.
Setelah dianggap cukup ilmu dari Raden Said tentang kewalian, Sunan Bonang menganugerahkan gelar wali kepada Raden Said, Sunan Kalijaga.
Dalam lingkungan kerajaan Demak yang dipimpin Raden Patah, putra raja Brawijaya V, pemimpin di Majapahit saat itu. Raden Said yang sudah menjadi seorang Sunan Kalijaga itu menunjukkan kepandaiaannya dalam banyak bidang. Sehingga membuat Raden Patah terkesima dan hendak mengangkatnya menjadi penasihat kerajaan.

“Maukah engkau menjadi penasihat ku di kerajaan ini, Sunan Kalijaga?”
Tentu permintaan ini tak bisa ditolak Sunan Kalijaga, “Alangkah bodohnya saya jika tidak menerima permintaan engkau, Raden Patah. Saya mau.”

Sejak saat itu Sunan Kalijaga menjadi penasihat Raden Patah, dan pemikiran-pemikirannya sering menjadikan Raden Patah benar-benar tidak menyesali keputusannya untuk mengankat Sunan Kalijaga menjadi penasihat kerajaan Demak.

Suasana Majapahit yang semakin berkecambuk membuat raja Brawijaya V menanggil seluruh daerah di bawah kekuasaannya, untuk menentukan apa langkah yang harus diambil dalam situasi perang ini. Di sana nampak hadir Adipati Tuban, Tumenggung Wilatikta dan Raden Patah, penguasa Demak, yang juga putra Brawijaya V serta dari beberapa tumenggung daerah kekuasaan Majapahit lainnya. Dalam pertemuan itu, Raden Patah menyempatkan diri untuk mengobrol dengan Tumenggung Wilatikta, ayah dari Sunan Kalijaga.
“Sebagai seorang pemimpin kerajaan Demak, saya sangat senang karena saya mempunyai seorang penasihat kerajaan yang sangat bijaksana, ia bernama Sunan Kalijaga, dia bertitip pesan kepada mu Wilatikta.”
“Saya sangat senang mendengar berita itu Raden Patah. Tapi sebenarnya siapakah dia, kok saya tidak pernah mendengar nama Sunan Kalijaga?”
“Apa benar kamu tidak mengenalnya Wilatikta? Dia itu putramu sendiri, Raden Said.”
“Said, putra saya?” Tumenggung WIlatikta terheran. Anaknya, seorang pemerkosa janda desa, telah menjadi Sunan Kalijaga. “Apa dia benar-benar telah bertaubat? Dia telah menjadi orang hebat di sana.” Dalam hati kecil Tumenggung Wilatikta bahagia.

“Titipkan salam ku padanya Raden Patah. Saya dan keluarga menunggu di kerajaan Tuban.”
“Akan saya titipkan salam mu Wilatikta.”

Sejak hilangnya sosok Lokajaya di daerah Tuban, perampokan semakin merebak kembali. Tumenggung Wilatikta semakin geram dibuatnya dan berencana melakukan razia besar-besaran di daerah Tuban, bahkan sampi ke polosok hutan dan pegungunan tak luput menjadi sasaran Razia.
Damal razia yang dilakukan kerajaan Tuban, terjaring gerombolan yang telah menjebak Raden Said. “Hei kalian.. kenapa kalian memakai pakaian serba hitam dan menggunakan penutup muka?” bentak Tumenggung Wilatikta pada gerombolan.

“Ampuni kami tuan, kami hanya mencuri tuan, jangan bunuh kami.”
“Kenapa kamu tidak menjawab pertanyaan ku tadi? Kenapa kalian memakai pakaian serba hitam?” Suara Tumenggung Wilatikta semakin keras membentak.
“Ampuni kami tuan, kami hanya meniru cara berpakain Lokajaya tuan.”
“Kenapa kalian meniru cara berpakaian Lokajaya?”
“Kami meniru Lokajaya supaya kami lebih ditakuti tuan.”
“Kalian tahu kan siapa Lokajaya itu?”
“Tahu tuan. Lokajaya itu adalah putra engkau, Raden Said”
“Lantas kenapa kalian menirunya?”
“Kami hanya ingin membalas perbuatan Raden Said tuan, yang telah mengamibil hasil rampokan kami dan membagikannya pada rakyat miskin.”

Betapa mulianya hati Raden Said terhadap orang miskin. Raden Said rela namanya tercemar sebagai pencuri, padahal Raden Said putra seorang tumenggung, hanya untuk membantu rakyat miskin yang tidak bisa makan.
Dalam suasana Tuban yang tak menentu, bahkan sampai pagi, Tumenggung Wilatikta dan dan istrinya, Dewi Nawangrum harus begadang sampai pagi untuk memikirkan nasib rakyat Tuban. Tiba-tiba dinding-dinding kerajaan Tuban bergetar, diiringi lantunan ayat-ayat Qur’an. Suara itu sepertinya tak asing ditelinga Dewi Nawangrum, suara Raden Said sangat merdu.

“Suara apa itu ayahanda? Apa engkau mendengarnya?” Dewi Nawangrum.
“Iya, istri ku. Saya mendengarnya.”
“Suara siapa itu merdu sekali lantunan ayat-ayat Qur’annya.”
“Entah istriku. Saya juga tidak mengetahuinya.”

Dewi Nawangrum tiba-tiba teringat janji suaminya, sebelum mengusir putranya dari tanah Tuban. Bahwa Raden Said belum boleh kembali ke tanah Tuban sebelum Raden Said menggetarkan dinding-dingding kerajaan Tuban.

“Apakah kamu ingat akan janjimu saat hendak mengusir Nak Mas Said dari tanah Tuban dulu?”
“Janji yang mana?” Tumenggung Wilatikta terlihat lupa akan janjinya dulu, yang sebenarnya hanya gertakan pada anaknya.
“Dulu kamu pernah berkata, kalau Nak Mas Said belum boleh kembali ke tanah Tuban sebelum ia bisa menggetarkan dinding-dinding kerajaan ini.”

Meskipun hanya suara Raden Said yang datang, sudah menggambarkan ketinggian ilmu Raden Said, Sunan Kalijaga.



 Sunan Kalijaga


Tidak ada komentar: