5.25.2013

Terpesona


Sekitar pukul 2 siang, di lobi kampus bradcasting terbaik di negeri cicak. Riuh ruang ini lengang, tak banyak yang ada di sini selain beberapa kelompok mahasiswa yang sedang ngobrol santai. Panas sudah pasti, adem bentar lagi. Sepi sudah pasti, ramai, siapa tahu nanti.
Tino sedang asik dengan novel di tangan. Novel karya kak Yunita, 9 matahari. Duduk di kursi berwarna biru bersama kakak kelasnya. Dari sudut yang lain Tino melihat rombongan perempuan yang juga sedang asik mengobrol di lobi kampus. Seperti gula dikelilingi semut, ada satu bagian yang menyolok dalam kelompok itu.

“Eh, manis ya dia.” Tino berkata pelan pada Tegar, seraya bercanda.
“Oh itu, kamu suka? Ngomonglah kalo suka, atau aku yang bilangin?”
“Nggak heee, kamu tuh paling yang suka.”
“Aku kenalin ya?”
Ora ah, kamu aja sono!”

Tegar beranjak dari kursi yang ia duduki sedari tadi dan menhampiri kumpulan perempuan, tanpa malu, Tegar langsung menyapa. “Hei, aku Tegar,” sambil menebar senyum, “Kamu siapa?” sambil menyalami satu-satu perempuan di sana. “Eh, temen aku ada yang mau kenalan tuh di sana.”

“Apa sih, Gar? Nggak kok. Tegar tuh yang mau kenalan.” Tino berpindah posisi ke kursi sebelah yang jaraknya sedikit jauh dari kumpulan perempuan.

“Sini woi, katanya mau kenalan. Udah mahasiswa pake malu segala. Huuu dasar!”, “Kalian semester berapa? Aku semester delapan.”
“Semester delapan ya kak, bentar lagi wisuda dong?” perempuan manis itu menyapa balik, Tegar.
“Iya nih, bentar lagi wisuda, terus lulus deh. Hehe. Kamu semester berapa?” Tegar mengulang pertanyaan yang belum dijawab perempuan gula itu.
“Aku semester dua kak.”
“Ambil jurusan apa?
“MIK kak. Kakak jurusan apa?” perempuan manis itu sesekali menoleh ke arah Tino, Tino hanya membalas dengan rasa malu.
“Woi sini. Ah dasar ni cowok! Ya udah ya dek, tak samperin cowok pemalu itu sek.”
“Iya kak.” Senyum manis pada Tegar, kemudian melihat kea rah Tino dan tersenyum.

Tegar nyamperin Tino dengan sedikit sebel. “Kamu beneran suka nggak sih?”, “Malu bro, gimana sih kamu, kaya nggak ngerti temenmu yang satu ini aja.”

“Kalo suka harusnya kamu tadi ikut aku nyamperin juga kali bro.. suka tuh nggak usah pake malu”,  Tino hanya pendek membalas, “Ya wes, temenin aku nyamperin dia ya?”
“Nemenin? Nggak ah.. ntar gitu lagi?”
“Kagak bro, suer.” Sambil nyengir senyum, tangan kirinya membentuk tanda pis.

Kali ini Tino benar-benar memberanikan diri. Dia mulai berdiri dari tempat duduknya dan menghampiri perempuan manis di seberang sana. “Taroh dulu bukunya!” Tegar menyuruh.

“Sabar knapa sih..”

Setelah lima langkah kemudian. “Ini lho temenku yang pemalu itu.” Tino menyenggol Tegar, tanda ia tak setuju dengan barusan yang diucapkan, Tegar.

“Hei..” Tino mengulurkan tangan ke kumpulan perempuan. “Tino,” tegang tingkat Firaun. Satu-satu dari mereka menyebutkan nama, hingga sebuah nama dari mulut perempuan manis itu keluar, “Linda.”

Linda nampak manis saat sedang duduk di kursi biru, Tino sambil berdiri di depan Linda.
“Jurusan apa dek?” Tino kembali mengulang pertanyaan seperti yang sudah ditanyakan Tegar, sejatinya sudah pasti mendengar jawaban itu. Tino menatap Linda, mengabaikan teman-teman Linda yang lain.
“MIK, kak. Kakak jurusan apa?”
“Aku manaprodsi, hehe.. semester berapa?”
“Semester dua. Kakak?”
“Udah enam.” Nyengir antara seneng dan bego. “Udah selesai belom kuliah hari ini?”
“Udah, kak.”
“Kok belom pulang?”
“Lagi download lagu kak.”
“Numpang wifi ya?” Linda hanya membalas dengan anggukkan kepala. Mungkin dia bête plus jengkel dengan pertanyaan itu dan enggan membalas. Kemudian pandangan mereka kembali ke pandangan teman masing-masing. Dan mereka kembali berpandangan, dua detik, pandangan itu memudar lagi. Tegar kembali ke tempat duduk semula, Tino mengikuti langkah Tegar. “Ngapain kamu ngikutin aku? Udah diajak ngobrol aja.”, “Temenin napa? Masih malu nih..”

“Kaya tadi aja dilanjutin.” Tegar semakin geregetan.

Tino kembali menghampiri Linda. Kali ini sendiri, tanpa perantara cinta. Pertanyaan Tino di season yang ini semakin berbobot dan mempunyai mutu. Tak seperti pertanyaan sebelum ini, yang bego sekaligus jleb. Karna pada pertanyaan ini, Tino benar-benar yakin bahwa anak sekolah dasar tak akan bisa menjawabnya.
“Boleh minta nomor hape kamu nggak dek?”
“Buat apa kak?” kenapa masih ada jawaban seperti ini dengan pertanyaan itu?
“Ya..” dua detik kemudian, “Buat sms kamu mungkin. Gimana, boleh?”
“Hmmm gimana ya? Ntar aja deh kak, kan kita baru kenal.”
Tino membalas sambil menganggukkan kepala dan sedikit senyum, tak percaya.
“Twitter aku aja ya kak?”, “Boleh deh..” Tino sedikit tak puas dengan cadangan hiburan yang ditawarkan Linda. Tak masalah.
“Twitter kamu apa?”
*** 

Tino: @linda halo dek :)
Dua jam kemudian, mention Tino baru dibalas.
Linda: @tino halo kak :)
Tino: @linda lagi apa dek?
Linda: @tino lagi nonton tv aja kak
Tino: @linda udah di rumah? tadi kehujaan nggak pulangnya?
Linda: @tino sedikit kak, cuma di jalan magelang aja tadi sih ujannya
Tino: @linda lumayanlah, sekalian mandi
Linda: @tino mandi apanya kak, tadi cuma basah dikit kok :)
Tino: @linda :)

Linda tak membalas mention Tino lagi. Menunggu. Lima menit, sepuluh menit, lima belas menit namun belum juga ada balasan mention. Tino mulai panik, “Apa dia ilfill ya?”
Tino kembali melihat di kolom mention, memastikan, kalau di kolom mention sudah tak nampak nama Linda membalas mention.
Tunggu dulu. Warna biru menyala dari tempat direct message, pesan masuk. “Lewat sini aja kak ngobrolnya, nggak enak kalau mention-mentionan, banyak yang bisa baca.” Senyum mekar kembali menghiasi raut wajah Tino yang jelek ini.
***

Rasa suka Tino semakin meninggi satu tingkat, menjadi suka season dua. Dalam DM (direct message), Tino mengajak Linda untuk kembali bertemu di temat berbeda. Café ini menjadi perantara bertemu selanjutnya. Suasana café yang sederhana. Hanya ada dua puluh kursi dengan bantalan empuk, ditambah hiasan lukisan pada dinding café.
Rasa suka semakin menaiki levelnya sendiri seiring berjalannya waktu. Suka harus pasti: kalau iya ya iya, kalau tidak ya tidak.


Tidak ada komentar: