6.10.2013

Cilik

Ibu merupakan pribadi yang kuat dalam hidup setiap anak. Namun ada satu sosok lagi, yang amat penulis hormati. Abah (panggilan ayah untuk saya). Tanpa mengkesampingkan jasa ibu dalam mendidik anak. Saya merupakan pribadi yang mengagumi seorang abah.

Kisah ini terinspirasi saat penulis sedang mengambil uang bulanan di anjungan tunai mandiri. Siang harinya penulis mengirim pesan singkat ke abah untuk mengirim uang saku bulanan. Abah selalu membalas pesan singkat penulis itu dengan benar-benar memaknai makna singkat. Seperti hanya dengan satu huruf ‘Y’ saja atau paling tidak, ‘iya’ lah. Hal itu tidak berlaku kali ini. Abah tidak membalas pesan singkat saya. Mungkin lagi di luar kota. Selalu sibuk dengan kerjaannya.

Penulis sudah kehabisan uang saku utuk bulan ini, sebelum masa tenggang. Anak rantau selalu punya pengeluaran kaget. Sayangnya kejadian ini terjadi dua minggu lebih cepat dari agenda. Penulis memutuskan untuk mengisi perut. Dompet hanya diisi gambar pahlawan dari Kalimantan Selatan lima lembar. Makan di lesehan pun tak mungkin. Penulis memutuskan menuju anjungan tunai dengan harapan tak jelas. Sudah dikirim belum? Ini perjudian ala kadarnya. Kalau memang belum dikirim lantas penulis harus membayar uang parkir dari mana? 5000 perak dikurangi 1000 perak hasil 4000 perak. Nasi kucing hanya dapat 2 sisa 1000 perak.

Baiklah. Bismillah tapi tetap pesimis. 19.45 waktu bagian galau jomblo (masih saja pake-pake jomblo). Penulis sudah berada di dalam ruangan ajaib. Ruangan dengan kotak doraemon pemberi permintaan, penguras rekening. Penulis mengambil dompet di saku belakang. Kondisinya sangat memprihatinkan. Penulis tidak akan menceritakan tentang ini lagi. Cukup.

Kartu ATM masuk ke lubang yang seharusnya #nggakusahmikirmacemmacem. Menekan tombol layar sentuh. Menu. Informasi saldo. Dan. Perlu transaksi lain? Tanya mesin ajaib ini. Penulis jawab. Perlu. Ambil 100.000 perak. Alhamdulillah. Abah penulis benar-benar baik. Cium tangan abah.

Saldonya? Rahasia dong.

Inspirasinya dari kisah singkat di atas. Nah kalo yang di bawah yang bakalan temen baca (emang pada mau ngelanjutin baca Wan?) berisi tentang gambaran sosok orang tua versi penulis. Kalo temen ada versi orang tua menurut temen, bisa lho dishare di kolom komentar. :)

Selamat membaca mblo.

*café*
Agus terheran dengan bapak yang kadang ia temui di café ini. Dia baik. Suka membayar tagihan pesanan minum tanpa Agus ketahui. Aneh. Bapak tua itu berumur sekitar 50 tahunan. Kenapa bapak tua itu selalu ada setiap kali aku sedang membaca buku di sini? Apa bapak tua itu tidak mengurusi anak istri di rumah? Saat aku sapa bapak tua itu, dia selalu menghindar. Kadang tersenyum sebentar sambil mengucapkan kalimat yang bisa membuat aku semakin terheran. “Belajar yang rajin nak.”

*hari berikutnya*
*suara pintu café dibuka Agus*
Agus baru saja pulang dari kampus. Universitas Diponegoro Semarang. Mahasiswa ilmu sosial politik semester enam angkatan 2010. Agus mencari tempat duduk dekat jendela bagian samping kanan cafe. Agus tak begitu suka terlalu dekat dengan dinginnya hasil pendingin ruangan. Agus lebih suka udara normal cenderung hangat. Agus sudah terbiasa dengan udara hangat. Jadi Agus memilih sofa dekat jendela ini. Tempat duduk kesukaannya setiap kali ke café ini.

Agus langsung mengeluarkan buku dari tas kecil warna hitam miliknya kemudian menaruh tas di atas meja lantas membuka buku novel yang telah ditandai dengan kertas tulis. Pelayan datang dengan menyodorkan buku menu. Kemudian “Hot chocolate mas.”

Sesekali Agus memperhatikan ruangan sekitar. Satu dua orang saja sedari tadi bergantian masuk dan keluar café. Beberapa pasangan dengan label pacar yang ada. Sebagian sisa hanya rombongan lelaki atau rombongan perempuan yang riweh untuk mengobrol serta bernyanyi. Seperti inilah suasana café yang disukai Agus. Tak begitu ramai dan tak begitu sepi. Lebih penting lagi kalau ada hot chocolate. Menu wajib yang dipesan Agus dan seseorang yang pernah ia suka. Seseorang itu kini telah menjadi yang lain. Baiklah.
***

Empat jam yang lalu hot chocolate di atas cangkir ini masih penuh. Empat jam yang lalu juga setiap halaman dalam buku ini belum Agus selesaikan. Agus terihat lelah dan kusut dimuka. Agus merapikan posisi duduknya dan membersihkan kumpulan buku di atas meja serta abu rokok yang sengaja berantakan sebelum Agus membayar tagihan di meja kasir.

Agus kemudian beranjak dari sofa biru yang sedari tadi menemani kegiatan membacanya. Sampai di depan meja kasir. “Sudah dibayar sama bapak yang di situ mas.” Penunggu mesin kasir menunjuk seorang bapak tua yang duduk sekat pintu masuk. “Seperti biasa. Bapak tua itu lagi. Hah.” Agus merasa kecewa dan penasaran. Siapakah bapak tua itu. Kenapa bapak tua itu selalu berbuat baik dengan membayar pesanan minum Agus hampir selama sebulan terakhir. Jangan-jangan bapak tua itu punya maksud jahat dengan Agus.

“Mas kenal bapak tua itu nggak sih?” Agus masih di depan meja kasir.
“Nggak tahu mas. Masak masnya nggak tahu sama bapak tua itu? Coba dingat lagi deh. Lha wong kelihatan baik banget sama masnya, gimana sih.”
“Siapa ya? Bukan orang tua dari temen aku deh kayaknya. Kalo bener orang tua temen aku ngapain juga harus berbuat baik sama aku? Apa maksudnya?”

Ini sudah keterlaluan. Agus harus menghampiri bapak tua itu. “Permisi. Makasih pak atas traktiran minumnya. Tapi maaf bapak ini siapa ya kok sudah hampir sebulan terakhir selalu membayar tagihan minum saya.”
“Sama-sama nak. Kok belum pulang jam segini?”
“Pak. Bapak belum jawab pertanyaan saya. Bapak ini siapa maaf? Bukannya saya menolak traktiran ini. Tapi alangkah baiknya uang bapak yang tadi buat bayar pesanan minum saya bapak gunakan untuk keperluan bapak sendiri.”

Bapak tua itu hanya tersenyum manis menatap Agus. Penasaran.
“Pak.. bapak jangan melamun.”
“Saya tidak melamun kok nak. Ternyata kamu sudah besar. Bapak rindu kamu.”
“Rindu? Maaf pak tapi saya benar-benar nggak ngerti apa yang barusan bapak ucapkan.”
“Kuliahmu gimana di jurusan sosial politik Undip? Kapan lulus?”
“Kok bapak tahu?”

Agus semakin penasaran dengan sosok bapak tua ini.
“Bapak ngikutin saya setiap hari? Atau bapak menyewa orang buat memantau keidupan saya? Aku mohon pak. Jangan membuatku semakin penasaran tentang diri bapak. Siapakah anda?”

Bapak tua hanya membalas pertanyaan panjang Agus dengan sruputan kopi hitam dari gelasnya. “Duduk dulu anak muda. Bapak masih ingin mengobrol denganmu.” Agus hanya menggelang pelan sambil mengangkat kedua tangan, melihat suasana sekitar yang masih nampak sepi. Kemudian Agus menyanggupi permintaan bapak tua dengan permintaan menjawab pertanyaannya. “Dengan satu persyaratan.”

“Syarat apa anak muda? Baiklah. Mau pesan minum lagi?” Agus menggelengkan kepalanya.
Agus mulai duduk berhadapan dengan bapak tua misterius itu. Agus masih bingung dengan kejadian yang masih dialaminya sekarang. Dengan banyak pertanyaan di dalam kepala.
“Bapak siapa dan apa maksud bapak selama sebulan belakangan terhadapku?”
“Kamu mirip sekali dengan almarhum ibumu nak.”
“Ibu? Ibuku ada di rumah. Bapak jangan mengada-ada.”
“Bola matamu. Bibirmu. Mimik saat kamu tersenyum persis ibumu. Istriku dulu.”
“Cukup.”
“Aku bapakmu nak. Dan bapakmu yang saat ini itu ayah angkatmu. Aku bapak kandungmu nak.”
“Bagaimana aku bisa percaya?”
“Kamu tahu mereka kan?” Bapak tua menunjuk dua orang yang sedag berdiri di dekat pintu masuk café. “Percayalah.”
“Bapak. Bapak sama Ibu ngapain nyusul Agus ke sini?” Agus sangat terkejut dengan kedatangan dua orang di dekat café ini.
“Maafkan kami nak.”
“Maksud bapak apa? Bapak sama Ibu nggak ada salah apa-apa sama Agus.”
“Kami berdua hanya orang tua asuhmu nak.”
“Ada apa dengan semua ini? Agus benar-benar tak mengerti.”

Agus akhirnya dipertemukan dengan orang tua kandungnya (singkat amat Wan. Biarin). Setelah dua puluh satu tahun terpisahkan jarak dan kasih sayang. Kenapa orang tua kandungnya itu kembali dan apa maksud dari penitipan ke orang lain ini.

Orang tua kandung Agus sengaja menitipkan ke orang lain mengingat situasi daerah orang tua Agus saat itu sedang terjadi musibah bencana alam banjir. Orang tua Agus tak mungkin meninggalkan ibunda Agus yang masih lemah usai melahirkannya. Orang tua asuh Agus yang saat itu belum mempunyai anak sejak tiga tahun menikah sudilah membesarkan serta merawat Agus kecil hingga sekarang. Ibunda Agus sendiri telah berpulang di surga lima tahun semenjak kelahiran Agus. Orang tua Agus pun mengikuti jejak orang tua Agus untuk menetap di satu wilayah agar bisa memantau kondisi anak kecilnya itu. Selama ini orang tua Agus belum berani membeberkan kebenaran ini pada anaknya. Kondisi jiwa Agus kecil masih belum cukup siap. Dan saat ini di tempat ini bisa jadi waktu yang tepat. Agus dipertemukan dengan bapak tua tak lain orang tua kandungnya.

Sayang dan cintai orang tuamu dalam keadaan apapun. Seburuk apa perangai orang tuamu itu merekalah orang yang telah melahirkanmu. Urusan kita hanya menjaga orang tua.

2 komentar:

mawi wijna mengatakan...

ane kira Agus dapet warisan makanya minumnya di Cafe dibayarin terus.

Baguse mengatakan...

jodoh mana jodoh?