Ayah
Linda seorang guru, pegawai negeri sipil. Ibu seorang rumah tangga. Punya satu adik
laki-laki. Satu kakak perempuan. Linda sudah tidak tinggal di rumah bersama
kakak, adik serta kedua orang tuanya karena dia melanjutkan sekolah menengah
atas di luar kota. Ikut nenek.
Linda
kangen sekali dengan rumah saat ia berada di luar kota, Yogyakarta dan
Semarang. Linda sekolah di luar kota bukan karena kemauan dia, melainkan sekolah
menengah atas favorite di kota dia berada tidak ada yang menerima. Gengsi lebih
besar dari minat pendidikan yang muncul saat itu, 16 tahun masih sangat labil
dan alay.
Di
kota rantau barunya itu, dia mengalami perubahan budaya yang mencolok. Teman
bermain, suasana kota, kebiasaan masyarakat setempat.
Salah
satu teman di kota Semarang itu bernama, Disti. Perempuan asli Semarang. Dua
bulan lebih muda namun dia lebih bijaksana. Dari keluarga biasa saja, tidak
kaya dan tidak kekurangan, tidak sedang broken
home atau sebagainya.
“Kenapa
kamu sekolah jauh dari keluarga? Kamu kan masih SMA.”
“Nggak
boleh ya kalau aku sekolah jauh dari keluarga?”
“Boleh
kok, Lin.. kamu hebat, masih SMA tapi sudah berani jauh sama keluarga. Andai
aku punya kesempatan seperti kamu, jauh dari keluarga, aku pasti nggak betah, pasti rasanya kangen rumah. Hehe”
Disti menambahkan tawa di akhir obrolan.
Di
tanah Semarang yang jauh dari keluarga pun, tak membuat semangat belajar Linda
meningkat, justru sebaliknya. Seakan ada kesempatan banyak untuk bermain, tak
ada pengawasan dari orang tua. Kebebasan yang diterima Linda terlalu dini. Ia
mengartikan kebebasan menjadi kebablasan. Seperti nggak ada sekat antara
belajar dan bermain.
Nggak
di rumah bude nggak di sekolahan. Kalau nggak main ke rumah temen ya main di café. Café sering dijadikan Linda sebagai tempat menyendiri yang paling syurgawi. Ratusan menit bisa ia habiskan
di sana selama sehari penuh. Bolos sekolah ya terus maen ke café.
Wifi
kenceng seperti magnet ampuh untuk membuat Linda tidak melewatkan panggilan hot chocolate vanilla racikan barista café, mas Aang. Download film barat sampai film
lokal. Sherlock Holmes dan teman setianya, Dr Watson. Baginya, film Sherlock
Holmes merupakan cerminan persahatan yang layak
ditiru.
Seharusnya
berangkat sekolah jam 7 pagi dan pulang 1 siang. Hal itu tidak berlaku bagi
Linda. Perempuan tomboy pantang pulang sebelum jam 7 petang. Kemana saja dia?
Kayak nggak tahu saja. Café dan download film.
Linda Lindu Keluarga di rumah. Sayang waktu nggak bisa diputar, apalagi dijilat dan
dicelupin. Kenapa Lindu? Karena Linda cilat. Olahraga kesukaannya di SMA ini,
itu silat bro. Perempuan suka silat itu macho, macho mundur, itu maju. Linda
juga suka dunia comedy, tokoh comedy
Jogja yang sangat dia suka, Anang Batas. Meski pun udah tua ((hehe) tapi om-om
yang nggak mau dipanggil om ini, maunya dipanggil mas) mas Anang suka sekali
plesetan. Bukan plorotan apalagi
bermain dengan setan, play itu main, setan itu setan.
Linda nggak naik kelas. Pada titik inilah Linda merasa keluarga dan rumah adalah surga kecil yang dititipkan Tuhan. Pilihan harus dihadapi dan dijalani: orang tua
mendukung, mengarahkan dan mendoakan. Sebaik tempat berlabuh itu keluarga.
Linda
tumbuh dewasa dari pengalaman binasa.
Melanjutkan
di sekolah yang sama, teman lama namun setingkat di bawahnya, semangat baru,
move on hati dan kebiasaan buruk. Pindah haluan bisa saja terjadi, namun itu
belum tentu. Karna yang saat ini sudah digenggam akan lebih baik dipertahankan
dengan perubahan, atau tidak sama sekali.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar