1.14.2014

Francesco Totti



Namanya Francesco Totti, sayang ia bukan pemain bola. Dalam kisah ini ia merupakan pemilik perusahaan di bidang jasa. 50 tahun lalu ia dilahirkan ke bumi. Kali ini ia harus merasakan suasana bumi yang panas dan selalu bikin gerah. Harga bahan pokok di sana dan sini sama mahalnya. Kondisi perpolitikan tak tentu jelang pemilu legislatif. Untungnya kondisi ekonominya saat ini sedang baik. Namun, ia sadar hal semacam ini nggak akan berlangsung lama. Pasti ada masa di mana masa-masa sulit akan datang. Jadi, ia memutuskan ke bank untuk mempersiapkan masa depan yang penuh misteri ini.

Riuh bank kota dengan banyak pengunjung lain. Petugas jaga membukakan pintu masuk untukku dan ayahku. Dan ternyata orang yang dituliskan kisahnya di atas adalah ayahku. Dia (satpam bank perempuan) memberi senyuman yang merekah di antara kedua bibir tipisnya. Ayah langsung mengambil nomor antrean pada salah satu sudut ruangan. Angka 62 adalah antrean yang didapat ayah, itu artinya kami harus menunggu cukup lama karena kini nomor antrean masih tertahan di angka 42. Di sela waktu itulah, aku bertanya pada ayah. “Ayah ngapain bawa uang ke tempat seperti ini, ramai, nanti mereka akan mengambil uang ayah?” saat itu usiaku 6 tahun, jadi maaf kalau kosakata dalam dialognya canggung (canggung sandiwara).

“Ini agaji ayah sebulan, dek. Kamu juga harus rajin menabung buat hari nanti.” Ayah memberi sapaan ‘dek’ padaku, biar lebih akrab.
“Tapi, kenapa harus di bank, Yah?” aku memberi sapaan ‘Yah’ karena dia ayahku. Bukan berarti, kamu pa’yah’ lho ya atau sebagainya. Missal dialog, “yah payah” Bukan, bukan seperti itu. Lanjut dialog.

“Biar aman, Dek.”
“Tapi, Ayah kan bisa menyimpannya di rumah?”
“Adek, kalau menyimpan uang di bank itu akan lebih aman.”
“Oh, gitu ya.”

Untuk mempersingkat waktu. 30 menit kemudian.

Di antara perbincangan anak dan orangtua itu terdengar panggilan dari meja teller, “Nomor 92 silahkan menuju teller dua.”
“Yah, udah dipanggil tuh nomor antreannya.”
Anak itu pun berdiri dari kursi tunggu sambil menarik ayahnya menuju teller nomor dua, putri kecil manisnya, Linda. “Ayah, besok kalau sudah besar aku pengen nabung yang banyak di bank seperti ayah.”
“Iya, putri kecilku. Kamu harus seperti itu.”

Kebiasaan baik itu harus diajarkan, Karena kebaikan itu datangnya dari yang baik. Bagus Setiawan

Tidak ada komentar: