Namanya
Francesco Totti, sayang ia bukan pemain bola. Dalam kisah ini ia merupakan pemilik
perusahaan di bidang jasa. 50 tahun lalu ia dilahirkan ke bumi. Kali ini ia
harus merasakan suasana bumi yang panas dan selalu bikin gerah. Harga bahan
pokok di sana dan sini sama mahalnya. Kondisi perpolitikan tak tentu jelang
pemilu legislatif. Untungnya kondisi ekonominya saat ini sedang baik. Namun, ia
sadar hal semacam ini nggak akan berlangsung lama. Pasti ada masa di mana
masa-masa sulit akan datang. Jadi, ia memutuskan ke bank untuk mempersiapkan
masa depan yang penuh misteri ini.
Riuh bank
kota dengan banyak pengunjung lain. Petugas jaga membukakan pintu masuk untukku
dan ayahku. Dan ternyata orang yang dituliskan kisahnya di atas adalah ayahku. Dia
(satpam
bank perempuan) memberi senyuman yang merekah di antara kedua
bibir tipisnya. Ayah langsung mengambil nomor antrean pada salah satu sudut
ruangan. Angka 62 adalah antrean yang didapat ayah, itu artinya kami harus
menunggu cukup lama karena kini nomor antrean masih tertahan di angka 42. Di
sela waktu itulah, aku bertanya pada ayah. “Ayah ngapain bawa uang ke tempat
seperti ini, ramai, nanti mereka akan mengambil uang ayah?” saat itu usiaku 6
tahun, jadi maaf kalau kosakata dalam dialognya canggung (canggung
sandiwara).
“Ini
agaji ayah sebulan, dek. Kamu juga harus rajin menabung buat hari nanti.” Ayah
memberi sapaan ‘dek’ padaku, biar lebih akrab.
“Tapi,
kenapa harus di bank, Yah?” aku memberi sapaan ‘Yah’ karena dia ayahku. Bukan
berarti, kamu pa’yah’ lho ya atau
sebagainya. Missal dialog, “yah payah” Bukan, bukan seperti itu. Lanjut dialog.
“Biar
aman, Dek.”
“Tapi,
Ayah kan bisa menyimpannya di rumah?”
“Adek,
kalau menyimpan uang di bank itu akan lebih aman.”
“Oh,
gitu ya.”
Untuk
mempersingkat waktu. 30 menit kemudian.
Di antara
perbincangan anak dan orangtua itu terdengar panggilan dari meja teller, “Nomor
92 silahkan menuju teller dua.”
“Yah,
udah dipanggil tuh nomor antreannya.”
Anak
itu pun berdiri dari kursi tunggu sambil menarik ayahnya menuju teller nomor
dua, putri kecil manisnya, Linda. “Ayah, besok kalau sudah besar aku pengen
nabung yang banyak di bank seperti ayah.”
“Iya, putri
kecilku. Kamu harus seperti itu.”
Kebiasaan
baik itu harus diajarkan, Karena kebaikan itu datangnya dari yang baik. Bagus Setiawan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar