3.17.2013

Jalan Jalan Ala Ale

MNC TV
Inilah awal mula perjalanan dimulai. Stasiun penyiaran televisi yang bermetamorfosa dari TPI ini, menjadi kunjungan pertama sebelum kunjungan-kunjungan ke stasiun penyiaran lain.
Rombongan diterima di MNC tv pukul 10 am. Pengenalan company profile oleh MNC. Setelah itu rombongan dibawa berkeliling menuju ruang control room dan studio produksi. Kebetulan waktu itu rombongan masuk di studio program Intermezzo yang dibawakan oleh Cak Lontong dan Wendi Cagur.
Di sana rombongan melihat bagaimana penataan yang lumayan rumit dan nampak elegan, dari penataan panggungnya. Tata panggung dan set dekorasi, cahaya, layar LCD yang besar, penataan set chit chat dan set home band serta penataan lain. Keren.

SCTV
     Dari MNC tv rombongan melanjutkan kunjungan ke stasiun penyiaran SCTV. Awalnya biasa-biasa saja. Nampak tidak ada yang ganjil dengan semua rombongan. Sampai di tempat kunjungan, pihak SCTV sempat beradu mulut dengan pihak rombongan MMTC Yogyakarta terkait kuota rombongan yang diperkenankan mengikuti acara.
Pihak SCTV hanya memperbolehkan 40 mahasiswa yang mengikuti acara. Namun, jumlah rombongan lebih dari 50 mahasiswa. Jadi tidak boleh masuk semua? Tentu saja tidak. Terpaksa beberapa mahasiswa harus out dari rombongan. Sedih.
Masalah itu hanya kecil. Rombongan setidaknya bisa diperkecil, meski kuota masih melebihi 40 mahasiswa. Dari semua stasiun penyiaran yang rombongan kunjungi, hanya di SCTV inilah rombongan harus melewati pemeriksaan yang lumayan ketat, seketat celananya Olga. Benda yang dinamakan metal detector harus rombongan lewati. Bukan bukan, bukan maksud saya yang kampungan. Namun, saya kasihan sama temen-temen yang giginya ditempelin tato hadiah dari ciki yang dibeli di warung mpok Lena, aksesoris, behel.
Percaya diri, saya masuk pada barisan awal dan hasilnya tidak begitu mengecewakan, saya lolos dengan nilai memuaskan. Dalam tubuh saya tidak mengandung unsure metal. Bebas metal. Kebahagiaan saya tidak bisa lama, pikiran saya langsung tertuju ke salah satu teman, Isna, dia memakai behel. Bagaimana dia bisa lolos dari pintu neraka itu. Bagaimana?
Saya mulai panik saat dia mendekati pintu dengan metal detector itu. Tidak.. kamu akan tertangkap, suara seperti sirine akan membuat bising semua orang karena benda metal yang menempel di giginya itu.
Dia lolos. Saya panic campur, bingung, sekaligus lega melihatnya. “Kamu bisa lolos? Kamu bayar berapa satpam itu?”, Isna hanya menjawab, “Aku lolos.” Sambil nyengir di depan semua orang, ini memalukan, itu yang dia pamerkan hadiah dari ciki.
Lupakan kisah antara Isna dan metal detector. Rombongan sudah berada dalam sebuah ruangan berac. Astaga, ini kenapa lagi. Oke, saya maklumi. Karena tadi rombongan melebihi kuota, jadi beberapa mahasiswa harus berbagi tempat duduk. Ada yang satu kursi dua orang, ada yang satu orang, kalau itu sudah benar. Baguslah. Pihak SCTV sudah banyak berbicara tentang profile company. Sesekali saya yang duduk di kursi depan menoleh ke arah belakang. Betul, temen saya yang lain tidak tahan dengan ruangan berac. Sudah bisa ditebak hasilnya, dia kedinginan dengan sebuah benda padat setengah cair bening keluar dari kedua lubang hidungnya, dia pilek. Kali ini bukan Isna lagi. Melainkan Tino. Ini sungguh memalukan saya sebagai teman mainnya sekaligus musuhnya dalam bermain PES 2013 merasa hina melihat kabar itu.
Saya hanya bisa mendoakannya semoga lekas sembuh dan lekas selesai dari pengenalan company profile, dengan itu rombongan bisa cepat keluar dari ruangan ini, dan Tino bisa terbebas dari siksaan kemodernisasian ini. Kalau saya harus berdiri dan memboikot jalannya acara kan konyol, “Hentikan acara ini sekarang. Teman saya sedang kesakitan di belakang sana karena alat di atas itu. Alat apa itu?” kan tidak mungkin. Yang jadi, saya ditertawakan semua rombongan. Hal konyol itu tidak akan saya lakukan. Lebih baik Tino aja yang menderita. Hitung-hitung mengurangi dosa-dosanya saja karena dia banyak sekali tidak bayar kalo lagi makan di kantin. Ampuni temen saya itu ya Tuhan. Amin.
Acara pedekate dengan SCTV di ruang berac sudah selesai. Saya berniat mengadakan syukuran kecil kecilan dengan menyembelih cicak yang dari tadi melihat saya selama acara berlangsung. Sebelum semua itu terjadi, ku urungkan niat itu. Karena saya yakin daging cicak itu tidak akan mampu mencukui semua rombongan. Kamu beruntung cicak, ingat urusan kita tidak berhenti sampai di sini Cak Cicak di dinding.
Robongan kemudian dibawa berkeliling menuju ruang siar Liputan6. Di sinilah awal mula berita itu disebarkan. Jadi, kalau saya kangen sama ruang siar Liputan6 saya tinggal nonton SCTV saja. Sederhana bukan.
Bukannya senang, rombongan di bawa ke ruang siar Liputan6. Raut muka dari beberapa masiswa justru menampakkan raut yang acuh. Hal ini cukup berdasar kalau boleh saya mengeluhkan. Karena rombonagn yang berkunjung ke SCTV merupakan mahasiswa jurusan Manajemen Produksi Siaran dan sebagian temen Manajemen Teknik Studio. Mungkin bagi temen Manajemen Teknik Studio hal ini tidak begitu berpengaruh secara signifikan, karena jurusan mereka itu ditujukan secara menyeluruh tentang manajemen teknik. Namun, bagi temen Manajemen Produksi Siaran yang secara content lebih mengutamakan unsure kreatifitas seninya, merasa ini bukan bidang yang sesuai minat dan keahlian kita. “Harusnya kita ke Trans tv.” Kata hampir semua mahasiswa Manajemen Produksi. Ya beginilah, kami harus mengikuti. Kita, temen Manajemen Produksi sempat mengutarakan keluh kesah ini saat rapat pendapat di Joint Lectur beberapa minggu sebelum keberangkatan. Kami merasa seharusnya tidak ke SCTV. Secara pribadi saya tidak mempermasalahkan itu. Toh yang namanya Manajemen Produksi Siaran itu kan harusnya meliputi hal-hal yang berkaitan tentang produksi, tidak terkecuali dalam ranah pemberitaan. Tentunya tidak secara content acaranya lho. Namun, secara produksinya.
Sampai sini, rombongan dibagi menjadi dua bagian perjalanan. Awal mula macet di lift selama 30 menit dimulai, dan saya termasuk yang ada di sana. Baiklah, kita mulai.
Pembagian kelompok itu dimaksudkan supaya mahasiswa bisa lebih fokus terhadap materi-materi yang disampaikan oleh pihak SCTV. Awalnya saya ikut dalam rombongan yang sebagian anggotanya laki-laki. Sampai sini masih normal. Rombongan saya naik ke lantai 10, di mana ruang contol siaran berada. Muter-muter, mendengarkan penjelasan ini dan itu, saya sedikit paham. Kemudian rombongan turun ke lantai 8, lantai siaran. Muter-muter lagi seperti obat nyamuk. Penjelasan bercampur membosankan dan menyenangkan. Pertama karena saya bareng rombongan yang sebagian laki-laki dan kedua karena, seharusnya kami tidak di sini. Awal mula cobaan sudah mulai terasa. Rombongan yang sebaian anggotanya laki-laki bertemu dengan rombongan yang sebagian anggotanya perempuan. Berpapasan di lantai 8. Salah fokus.
Saya salah masuk rombongan, tertukar. Hal tersebut dikarenakan saat kedua rombongan berpapasan di lantai delapan. Lapar dan letih mulai mampir dalam diri. Saya mulai curiga dan baru sadar saat sudah di dalam lift. “Kok saya di sini?” bisik dalam hati. Tidak apalah, semriwing di sini gadisnya banyak. Meski saya harus mengulang materi di lantai 10. Namun, saya tidak merasa, “Ah, itu sudah pernah.” Saya justru senang. Kalau bisa hal ini diulang sampai sepuluh kali juga oke.
Lantai 10 sudah selesai. Rombongan yang sebagian perempuan berniat menyusul rombongan yang sudah lebih dulu di lantai dasar. Masuk lift. Saya masuk berjejalan dengan para perempuan, di tengah tengah. Pintu lift sudah nampak tertutp rapat. Salah satu di antara kami menekan tombol angka yang menunjuk lantai dasar. Sampai di sini lancar.
Sampai di lantai 4 lift agak mulai ngadat, tak lama berselang lift berhenti bergerak dan, mogok. Mampus. Ini pertama kalinya saya terjebak di dalam lift. Kejadian yang hanya bisa saya lihat di film-film terjadi dan terpampang nyata di depan mata saya. “Tolonggggggg!!!” kami semua berteriak secara kompak dengan suara lantang. Semua orang yang berada di dalam lift sudah mulai panik, saya masih tetap stay cool.
Di dalam ruangan tak lebih dari 2×2 meter ini pun saya serba salah. Bagaimana tidak. Posisi saya yang berada ditengah-tengah antara perempuan. Mau maju salah mundur salah, apalagi serong kanan kiri. Bisa jadi benjol sana sini.
Habis dari SCTV dan beberapa dari rombongan terjebak di sana, kita langsung belanja di ITC (ITC yang mananya kurang tahu). Namun, tak banyak juga yang memutuskan untuk langsung balik ke hotel.


Universitas Budi Luhur, Prambors Radio dan Kompas TV
Sesuai jadwal kegiatan, kegiatan broadcast yang dibagian pada setiap mahasiswa, seharusnya rombongan menuju ke Prambors radio di pagi hari dan dilanjutkan ke Kompas TV Palmerah pada siang harinya. Perubahan agenda yang baru diberitahukan pagi hari setelah jamuan makan pagi ini membuat rombongan kecewa dan menggeleng kepala masing-masing.
Kerancauan di hari kedua di mulai di sini. Bukan maksud saya menyalahkan perubahan agenda ini. Pada kenyataanya ya beginilah. Dengan alibi jika semua rombongan ke Prambors radio dan Kompas TV sesudah dari Universitas Budiluhur maka waktu tak akan sampai. Keputusan untuk membagi rombongan menjadi dua bagian menuai kontroversi, sampai perang batin di antara mahasiswa dan mahasiswa dengan dosen pun tak terelakkan. Hal ini menimbulakan kebencian sejenak antara dosen pembimbing dan mahasiswa maupun di antara mahasiswa sendiri.
Banyak mahasiswa dari jurusan Manajemen Produksi Siaran dan Manajemen Teknik Studi yang menginginkan kunjungan setelahnya ke Kompas TV. Pembagian kelompok pun dilakukan dengan kesan terpaksa, dilakukan di dalam bus. Bukan secara agenda yang telah disusun. Pembagian kelompok berdasar nomor urut presentasi, separuh ke Kompas TV sisanya ke Prambos Radio. Separuh rombongan tertawa dan sisanya tertawa jahat dalam hati, menangis sejadinya. “Saya bayarnya sama kok buk!” kalimat itu terlontar dari belakang barisan bus, entah siapa. Intinya sisa mahasiswa tadi tidak rela.
Relax. Sampai di Universitas Budi Luhur rombongan diterima oleh pihak kampus. Kebetulan yang mewakili penerimaan rombongan itu alumni dari MMTC Yogyakarta. Bangga. Sama seperti kunjungan sebelumnya. Sesi perkenalan, pengenalan profile company kampus, muter-muter dan sampai akhirnya perpisahan.
Perpecahan disumut kembali. Sisa rombongan yang tersakiti harus mengantar rombongan yang bahagia ke Kompas TV terlebih dulu. Sakitnya semakin bertambah. Sisa rombongan tak sanggup melihat rombongan yang berbahagia itu saat turun dari bus dan masuk menuju gedung Kompas TV dengan tawa riang, bernyanyi ala Bob Marley. Saya sendiri hanya bisa menutup mata dengan jaket almamater warna biru yang dari tadi saya gunakan sebagai lap penghapus air mata. Sisa rombongan yang lain juga melakukan hal serupa.
Kesedihan saya semakin bertambah, seharusnya saya bertemu dengan Mas Bima, produser Klik Arbain yang dulu juga sempat menjadi produser Bumi Kita Kompas TV. Saya nangis darah. “Maaf mas. Kayaknya saya gak bisa ke Kompas TV ni.”, “Oh, ini rombongan kamu ya yang pake warna biru-biru itu. Ya, udah gak apa kok dek. Kapan-kapan kan juga bisa ke sini lagi.” Suara itu terdengar dari jauh di telpon sana. Sad ending.
Bus melaju jauh meninggalkan daerah Palmerah. Prambors Radio. Yeah baby, next destination. Rombongan sisa ini mencoba dengan menghibur diri sebisa mungkin. Mulai dari melakukan hal normal seperti minum air lewat mulut, sampai melakukan yang absurd, makan roti lewat mulut. Saya sedih melihat kegilaan sejenak rombongan sisa ini. Sabar teman, di balik orang yang sabar pasti ada hikmah di sampingnya.
Alhamdulillah. Harapan rombongan benar-benar terwujud. Selama dalam perjalanan menuju Prambors Radio, rombongan melihat banyak sekali kejadian yang bisa sedikit mengobati lara ini #hais.  Mulai dari pengguna jalan ada yang mirip dengan salah satu rombongan sisa kita. Sebut saja dia Riri. Bagaimana tidak. Mulai dari morfologi badannya yang gempal berisi (maafkan saya ya, Ri. Aibmu saya bongkar bongkar kopinya bang Iwan di sini. Karena bang Iwan gak pernah salah pilih kopi), cara dia jalan, cara dia megang handphone, semuanya mirip. Seisi bus pecah dengan tawa dan ejekan yang ditujukan ke Riri. Yang sabar ya.

“Hei, lihat. Itu kakaknya Riri.”, “Iya ya. Mirip beut. Pasti namanya Mebe, mirip beut.”, di ujung kursi, Riri hanya bisa tertawa geli, antara kagum dan risih.
Selama perjalanan pelipur lara itu, rombongan juga dipertontonkan balapan liar oleh para supir bajaj. Wuish, keren tau. Dua buah bajaj yang sedang menarik penumpang melakukan manuver. Serong kanan serong kiri, pokoknya keren dah. Pengen nonton lagi yang kayak gitu. Belum lagi saat bajaj itu melakukan salip menyalip, saya yakin bukan hanya kita yang nonton yang dibuat deg deg ser, tapi juga yang numpang di dalemnya.
Tapi, ini kenapa rombongan gak nyampe-nyampe di Prambors Radio ya? Katanya udah deket dari TKP. “Bang Supir, katanya udah deket. Tapi, ini kok lama beut sih?” Deta yang ikut dalam rombongan sisa menggerutu. Saya juga mengiyakannya. Kenapa lama amat ya? Setelah rombongan sisa membuat tim buat menyelidiki tentang perihal apa yang terjadi sehingga membuat perjalanan ini lama, sama kaya menunggu cinta dari seorang yang hatinya lagi galau, “Ini kenapa lama? Kebelet pipis woy!” kali ini yang ngomong si Jembi, Alfin, kesel.

“Kayaknya kita nyasar deh neng.” Kata pak supir yang sudah menampakkan muka bingung.

“Lho kok bisa sih pak? Anda kan supirnya. Katanya udah lama jadi supir bus pariwisata?” Deta semakin kesel.

“Iya mba, udah lama jadi supir. Tapi, kan supir trans Jogja.”

“Apa? Trans Jogja? Trus ini gimana dong saya dan temen-temen rombongan? Udah, cari GPS aja.”

Deta pun menunjukkan hasil scan GPSannya. “Oh, di situ ya neng?” datar tanpa dosa. Nampaknya pak supir dan teman-temannya gak begitu yakin dengan hasil scan GPSan Deta. Salah satu teman pak supir turun dan menanyakan pada warga sekitar komplek. Setelah turun dan meyakinkan di mana lokasi Prambors Radio, rombongan pun meluncur lagi. Dan yang bikin sakit hati itu, dari tadi kita muter-muter komplek ini yang hasilnya gak nemu di mana lokasinya, ternyata cuma tinggal belok kiri aja dari posisi awal. Kesel beut. Letak Prambors Radio ada di dalam komplek perumahan cuy.
Sampai. Saya dan rombongan melakukan sujud sukur, serta tumpengan kecil-kecilan.
Masuk Prambors Radio, Jembi masih mencari di mana wcnya. Oke, lupakan Jembi dan air warna kuningnya.
Aneh binti ajaib. Entah ini rencana Tuhan atau rencana setan? Ternyata kesesatan kita (baca. Salah jalan) ada kaitannya dengan orang yang kita bully tadi di jalan, iya, kembarannya Riri. Rombongan sisa ketemu duplikatnya Riri di sana. Tuhan murka pada rombongan sisa yang hanya bisa mengeluh dan mencaci mereka yang lemah tak berdaya, rapuh bagai butiran debu tanpa tahu arah jalan pulang. Sad endingnya double.
Di Prambors Radio pun, kelanaan rombongan bentar beut (baca. Bet), cuma sejam. Abis itu cabut. Menjemput luka yang lama udah kita kubur dalam-dalam. Apa itu? Menjemput rombongan yang di Kompas TV. Ih, amit-amit. Saat ketemu rombongan emas di sana pun, muka rombongan sisa nampak acuh. Itu tuh yang biasa ada tulisan di pinggir jalan “Strum accu” udah gitu doang.
Karna saya dan rombongan sisa tidak ke Kompas TV (hanya sebentar saja, itu pun hanya berkunjung ke studio siarnya Kuis Versus saja, waktu itu lagi taping sih. Dan yang lebih menyakitkan itu, rombongan yang ke sana mendapat kaos Standup Kompas TV season 3, dan rombongan sisa hanya bisa menonton kebahagiaan semu mereka.), jadi saya males menceritakan kunjungan ke sana.
Di dalam bus pun, kebencian masih ditebarkan oleh kedua kubu. Sampai akhirnya perang batin disulut. Di twitter, di Facebook, bahkan peperangan ini berlanjut hingga kamar hotel. Ketidak adilan ini menimbulkan perpecahan.


LPP RRI
Intinya. Pada hari terakhir kita di Jakarata ya Cuma ke RRI.

Goes to Bandung
Trans Studio Bandung. Bandung sendiri adalah salah satu kota yang mendapat perlakuan istimewa dari sayaPENCET. Mau tahu kenapa? Kepoin blog saya. Semua udah saya jabarkan di sana. Di TSB itu isinya cuma main dan main. Tapi, sukak beut.


foto oleh mas-mas yang ada di sana.

Udah sampe sekian ya. Tangan udah pegel, saya yakin lu juga pegel bacanya kan. Ya udah, salam woyo. Muah muah.

Tidak ada komentar: